ANOTHER LOVE ACTUALLY STORY – Potret 1

103 Komentar

11819_173684792789400_1542422965_n

ANOTHER LOVE ACTUALLY STORY

an AL GIBRAN NAYAKA story

##################################################

CUAP2 NAYAKA

Salam…

AAAAAAAAAAAAAAAAA…..!!!!!

Hosh… hosh… hosh…!!! Rasanya… rasanya… rasanya… hhh rasanya bagai dikejar sekawanan anjing gila yang dibelakangnya kawanan si anjing juga di kejar segerombolan babi liar dan lima meter di belakang gerombolan babi liar ikut berlari sekoloni werewolf new born yang sedang diburu sepasukan vampire pimpinan Aro Volturi yang kebetulan sedang melarikan diri setelah kalah perang sama kelompok vampire pimpinan Cullen Family yang dibantu werewolf old born pimpinan Jacob Blake (He? Maksudnya, Nay? JANGAN TANYA!), sementara aku berlari sendiri paling depan dengan bokongku hanya berjarak seujung kuku dari taring anjing gila yang berada paling depan dari rekan-rekan sesama anjing gila dalam kawanannya. Ah… rasanya ketar-ketir boo… (mati kita).

Slap! #pindahlayar#

Lainnya

SECANGKIR KOPI UNTUK ABAH – 2

13 Komentar

SECANGKIR KOPI UNTUK ABAH

By : Abi Zaenal

 

Aku sedang duduk sambil memerhatikan Aldi, anakku yang baru menginjak tiga tahun tapi tampak bersemangat untuk mewarnai buku gambar yang baru didapatnya dari tempat belajarnya tadi. Untung saja cuaca saat ini tak terlalu panas. Mungkin karena sekarang masih bulan Februari.

Aku bergegegas ke dapur untuk mengambil kan susu kotak dari kulkas. Anakku Aldi memang suka sekali susu, apalagi yang rasa coklat.

Tapi baru saja aku menutup pintu lemari pendinginku, aku mendengar suara bel. Ah, siapa gerangan tamu siang-siang begini? Akupun bergegegas memakai lagi kerudungku lantas segera menjunjung ke arah pintu.

Pintu terbuka, dan satu senyum sederhana terulas dari orang yang lamat-lamat ku ingat. Di kanan kirinya kulihat ada satu buah dus berikat rapia dan juga karung. Aku mengernyit sampai akhirnya dia memperkenalkan dirinya sebagai kerabat jauh di kampungku dulu. Setelah sedikit berbincang-bincang, dia mohon pamit untuk segera pulang, dan menolak dengan halus tawaranku untuk sekedar minum. Tapi sebelum pamit, dia menyerahkan secarik amplop putih padaku. Titipan untukku, ucapnya.

Punggungnya sudah tak terlihat sekarang dan aku segera membawa karung dan dus yang entah berisi apa. Akupun segera membuka karung itu, ternyata berisi beberapa ruas singkong, jagung serta buah-buahan. Aku mengernyit. Siapa yang repot-repot mengirimkan umbi dan sayuran semacam ini? Toh kalau beli disini tak akan merogoh kocek banyak, dan juga tak perlu repot-repot menenteng barang yang cukup berat ini. Dan saat rapia itu kulepas, penutup dus itu kusibak, bagian teratasnya sedikit membelalakkan mataku. Tanganku bergetar. Lamat-lamat kain berwarna putih itu kujangkau. Baunya masih sama seperti dulu. Warnanya pun tam

 

Assalam alaykum warohmatulloh wabarokatuh

“Bagaimana kabar Aldi? Apa dia sudah bisa jalan sekarang?

“Abah ingat, bagaimana kamu berjalan tertatih, berpegangan ke dinding, bingung harus berjalan ke arah mbu atau abah, dan kamu tak tahu betapa bahagianya abah waktu kamu meniti dinding dan menghampiri abah, kamu tertawa-tawa menggemaskan, sedang waktu itu perasaan abah was-was, takut kamu jatuh. Dan abah menjunjung kamu setinggi-tingginya. Itu waktu kamu masih berumur dua tahun, entah kamu ingat atau tidak.”

“Abah tahu, derajat ibu tiga tingkat di atas abah. Dan surga pun memang derajatnya ada di bawah telapak kaki ibu saking mulianya ibu. Tapi apa karena sekarang sudah tak ada Mbu, kamu enggan pulang?Apa abah sudah tak layak dapat secangkir kopi dari anak perempuan abah?”

Tuhan, air mata yang menggenang kini telah meluncur dengan sukses di pipiku. Aku hanya menutup mulutku, tak mampu berkata-kata. Suara parau beliau terasa menyakitkan sekali.

Tuhan, anak macam apa aku? Dan satu yang semakin membuatku sesak adalah aku melihat beberapa titik kertas yang berkerut. Itu adalah tetes air mata abah yang telah mengering. Abah menangis. Abah menangis ketika menulis surat ini.

Aku tersungkur dan menangis sesenggukan.

Aku ingat, ini adalah kain mukena yang abah hadiahkan ketika aku juara kelas. Dulu aku sering diledek setiap hendak mengaji karena mukena yang kukenakan saat sholat sudah lusuh. Dan Abah berjanji akan menghadiahkan itu kalau aku bisa meraih juara di TPA itu.

Kucium mukena hadiah dari abah, kubaui dan kurasakan bau tubuh abah, bau yang sama saat kupeluk abah sepulangku mengaji.

*****

Dengan tangan gemetar dan dada bergemeuruh aku mengetuk pintu. Tak sabar rasanya ingin memeluk tubuh ringkih ayah. Tubuh dengan tangannya yang kokoh yang dulu selalu menjunjungku setinggi-tingginya. Menceritakan kisah epik masa lalunya.

Pintu pun terbuka. Beberapa  detik kami berdua hanya terdiam. tapi kulihat matanya mulai memerah, kantung matanya yang mulai mengendur seolah menampung air mata yang ingin beliau curahkan. Bibirnya mulai kisut dan gemetar. Aku ambruk dan langsung bersungkur di kakinya. Memeluk erat betisnya. Aku terisak, tak mampu berkata-kata, tapi hatiku memohon maaf karena rasa tercampakan yang menderanya. Aku mohonkan ampunan pada tuhan atas orang yang paling berjasa dalam hidupku.

Aku memegang pisin berisi secangkir kopi hitam yang masih mengepul, kopi kesukaan abah, dengan dua sendok gula. Mata beliau masih berkaca-kaca, memandang ke luar lewat jendela kayu yang sudah tampak lapuk itu. pandnagannya tertuju pada pohon jambu tempat aku sering bergelayut didahan itu dulu. Kutaruh cangkir itu diatas meja. Abah tersenyum padaku, dan aku hanya mampu mengulas sedikit senyum karena mataku rasanya tak berhenti berair. Aku melihat Aldi yang tampak bersemangat bertanya banyak hal pada kakeknya yang baru sekarang dia lihat. Kakek yang harusnya dia lihat dua atau tiga kali setahun. Kakek yang akan membantunya mencari capung dan belalang di sawah. Mengajaknya memetik mentimun atau cabe di ladang. Dan kakek yang akan menceritakan tentang petuah hidup.

Untuk abah di seluruh dunia. Terkadang kami anak-anakmu ini memang sering terlena oleh kehidupan kami yang baru. Kami terbuai oleh indah dan gemerlap kota yang melenakan. Kami acap terlupa pada sosok yang dulu menjunjung kami di pundak untuk memetik jambu. Kami sering tak ingat bahwa dulu engkau yang mengajari kami naik sepeda, mengangkat tubuh kami yang sering tertidur di depan tv. Kami sering buta oleh jasamu. Kami tak tahu bahwa dalam diammu, hatimu mendoakan yang terbaik untuk kami. Di balik ketiadak adaanmu di rumah, engkau bekerja terlampau keras hingga tubuhmu kaku. Kami sering membantah, menolak hanya untuk menyuguhkan secangkir kopi sepulangmu dari ladang.

Mungkin derajat ibu lebih tinggi darimu, tak ada hari istimewa atas namamu, tapi engkau akan terus hidup dalam ingatan. Sosok yang mengajarkan tentang kesabaran, keteguhan, dan kegigihan. Engkau marah agar kami sadar atas kesalahan kami, engkau diam bukan tak sayang,

 

Aku tahu, banyak orang yang mengabaikan begitu besar jasa seorang ayah. Ketika seorang ibu diagungkan, diperingati setiap tahunnya, seorang ayah hanya bisa tersenyum. Seorang ayah tak pernah minta pengahrgaan. Atau pengagungan. Seorang ayah hanya ingin diingat, meski diingat setelah ibu.

Ketika seorang ayah memerahi anaknya yang pulang larut malam, bukan karena dia pemarah. Tapi karena beliau takut anaknya akan menyesal kemudian marah. Ketika kamu menangis dan dibelai ibu, bukan karena ayah tak peduli, tapi ayah harus.

Ayah yang tercampakkan.

 

SECANGKIR KOPI UNTUK ABAH – 1

13 Komentar

CUAP2 NAYAKA

Salam…

Ini yang ke-8 dari Kawan Abi Zaenal. Masih seapik tujuh judul sebelumnya. Aku sendiri menangkap begitu banyak hal baik dalam tulisannya kali ini. Cerpen ini mengajarkan, cerpen ini mencerahkan, cerpen ini membawa kita melihat lebih dalam kepada satu sosok yang keberadaannya sama berarti layaknya keberadaan sosok Ibu. Ayah. Cerpen ini membuka mata, setidaknya bagiku.

Izinkan aku berdiri, dan memberi applause secara personal kepada Kawan Abi Zaenal. Aku mengagumimu, Teman…

Kepada Sahabat yang baca, andai tidak memberatkan, mohon tinggalkan sebaris kalimat di bawahnya.

Happy reading.

Wassalam

Nayaka Al Gibran

__________________________________________________________________________________

Pidato Abi Zaenal

Cerpen ini adalah cerpen bagian pertama dari threeshoot Secangkir Kopi Untuk Abah. Cerpen bagian pertama ini mengisahkan tentang seorang anak lelaki kebanggaan abahnya yang ternyata seorang gay. Cerpen kedua nanti mengisahkan anak perempuan yang diboyong ke kota oleh suaminya. Sedang cerpen ketiga tentang bagaimana perjuangan seorang ayah mendamaikan dua anaknya dengan si kakak sulung yang pernah menghuni hotel prodeo.

Langsung aja welah dibaca cerpen bagian pertama.

_________________________________________________________________________________

SECANGKIR KOPI UNTUK ABAH

By : Abi Zaenal

 

Senja meniupkan anginnya pada daun-daun terserak di halaman belakang rumahku. Menebar hawa dingin yang membuatku merekatkan jaket yang kugunakan. Jingga sudah meraja di barat, dengan awan kelabu-keemasan yang memesona, meski tak nampak hewan-hewan yang kembali ke peraduannya.  Kursi besi yang panjang ini masih saja hangat, karena satu cangkir kopi dan sebatang rokok yang menemaniku menikmati momen menghipnotis ini.

Aku menyesap kopi yang masih mengepul di tanganku ini sambil tersenyum kecut. Aromanya menebarkan wangi yang membuatku terdiam beberapa saat, membuat pikiranku kembali pada beberapa waktu sebelum aku hijrah ke kota ini. Masa dimana aku menikmati momen-momen mengesankan bersama sosok hebat itu. sosok yang mengajarkan aku pada banyak hal, pada banyak petuah hidup. Sosok tegar yang pendiam, sosok jenaka yang arif. Ah, mataku selalu saja basah setiap mengingat sosok itu. Abah.

Kini pikiranku bermain-main dengan masa kecilku, masa dimana abah menggendongku di punggungnya selepas mengunjungi makam ibu. Ketika itu aku bertanya, apa aku bisa sekolah di tempat belajarnya Habibie, idolaku dulu. Abah yang waktu itu bahkan tak mampu belikan aku mobil batman yang kuingin hanya diam saja. Tapi ketika kami berdua melintasi kebun jambu milik kami, beliau menjunjung tubuhku dipundaknya, menyuruhku memetikkan beberapa buah jambu yang telah ranum.

Kami berdua terduduk di atas batu besar menghadap barat, menikmati momen dimana alam menjalankan titah tuhan, menenggelamkan siang dan menghadirkan malam. Beberapa butir ranum itu kukumpulkan dalam raupan tanganku, lantas kugosok jambu itu dengan kaosku. Abah mengusap rambutku dan tersenyum tipis padaku.

“Lihatlah bagaimana alam mengajarkan banyak hal pada kita. Maha karya Tuhan ini mengajarkan esensi hidup. Matahari mengajarkan kita untuk tanpa pamrih. Burung mengajarkan kita pada kerja keras dan kasih sayang. Angin mengajarkan kita untuk menebar kesejukan pada setiap yang ditemuinya. Belajarlah pada alam jika kamu ingin menjadi bijak, karena alam mengajarkan apa itu esensi bahagia dan cinta.”

Aku yang waktu itu masih terlalu muda untuk memahami kalimat yang dalam itu hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang dimaksudkan Abah.

 

“Hidup itu untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk meminta atau bahkan mengiba. Belajarlah pada daun yang menghidupi satu pohon. Bahkan dia rela mengorbankan dirinya saat kemarau menjelang. Dia gugurkan dirinya untuk menjaga inangnya, dia korbankan dirinya untuk hewan-hewan kecil. Dan kamu De, jangan pernah takut untuk berkorban, karena tuhan menghitung segala keikhlasan kita. Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih hebat.”

Aku terpana mendengar kalimat hebatnya itu. Ayahku yang pendiam, kini berapi-api membekaliku ilmu hidup.

*****

Dua puluh tiga. Ah, umurku sudah lebih banyak tiga tahun dari waktu dulu abah menikahi ibu. Lagi-lagi aku teringat ketika abah mengisahkan lahirnya kakakku yang sulung dengan berapi-api. Meski sekarang si sulung itu telah menjadi seorang yang brengsek. Entah apa yang membuat Abah begitu sabar menghadapi anak yang seperti setan tingkahnya.

Abah selalu bilang padaku bahwa menjadi seorang ayah adalah kebanggaan seorang lelaki. Cinta seorang ayah pada anaknya tak beda dengan cinta ibu pada kami. Meski mereka berdua menunjukkannya dengan cara mereka sendiri. Seorang ayah itu harus kuat, mengimbangi ibu yang perasa. Seorang ayah harus tetap tenang mengimbangi ibu yang mudah menangis. Bila dia marah, bukan tak sayang, tapi dia beritahu bahwa kita salah dalam bertingkah.

Dulu begitu sering aku tertidur saat menonton tv. Tapi saat mataku terbuka, aku sudah berselimut di atas kasur. Aku juga sering menangis saat mobil kulit jerukku dirusak oleh temanku, tapi esoknya sudah ada mobil dari kayu dengan roda karet bekas sandal dan bisa mengapung. Abah tak banyak bicara, tapi tatapannya mengajarkan banyak hal padaku. Senyumnya meredakan tangisku. Abahku yang hebat. Abahku yang istimewa. Untuk lelaki sederhana dan guru keihklasanku, dengan sangat kuucapkan, aku sayang engkau.

Aku masih ingat saat abah yang pendiam itu tertawa bangga saat aku pulang membawa piagam. Aku menjuarai lomba pidato Bahasa Inggris waktu itu. Sampai merah padam wajahku menahan malu, karena abah menceritakan pada setiap orang yang ditemuinya. Lantas mengadakan syukuran sederhana karenanya, meskipun kutahu itu terlalu berlebihan untukku. Tapi aku begitu senang dibuatnya.

Tapi senja yang gemericik itu aku tertunduk, tak mampu menatap wajahnya yang sendu. Satu kabar tak baik sampai di telinga abah. Entah dari siapa kabar itu bermula. Anak yang selalu dibanggakannya telah menyalahi kodrat. Aku yang pendiam ini menyukai sesama. Beliau tak menamparku seperti dugaku. Juga tak mengusirku dengan sarkas seperti syakku. Beliau hanya duduk diam memandang keluar jendela, memandang rintik-rintik air yang jatuh dari atap. Pandangannya kosong. Senyum sederhana itu tak lagi nampak dari bibirnya.

Aku tak mampu menyangkal karena berita itu absah. Aku yang harusnya bersimpuh, mencium kakinya hanya mampu diam, hanya bisa mengusap air yang terus mengaliri pipiku. Mata kelabu beliau tampak berkedip beberapa kali, lantas terlihat satu tetes air matanya jatuh. Abah yang tegar dan mengajariku untuk pantang menangis, kini tumbang. Hari ini beliau kalah.

Harusnya abah memukuliku, menendangku atau bahkan melemparku. Itu lebih baik daripada melihat beliau diam dan mengusap matanya. Melihat jakunnya naik turun dengan desah nafasnya yang berat. Pemandangan itu terasa membekukan paru-paruku yang penuh oleh sesal.

“Tolong buatkan secangkir kopi untuk Abah, De…”

Kalimat itu meluncur dari mulut Abah dengan bergetar. Sedikit parau dan seolah menahan nafas karenanya. Aku mengusap pipi yang sepertinya takkan kering senja ini. Bergegas ke dapur dan segera menjerang air. Tanganku gemetar saat menuangkan air mendidih pada cangkir yang sudah kububuhkan tiga sendok gula dan tiga sendok kopi. Takaran kesukaan Abah. Tiga untuk jumlah anaknya, tiga lagi untuk wanita yang dia cintai dalam hidupnya. Ibuku yang sekarang sudah ditempatkan Tuhan di syurga, Asni kakak perempuanku yang telah diboyong suaminya di kota, juga nenek –ibunya, yang telah melahirkan sosok hebat Abah.

Aku masih berdiri di sampingnya, menanti tangan ringkihnya meraih cangkir itu, membauinya dengan tersenyum lantas menyesapnya perlahan. Pandangannya masih tertuju pada hamparan hijau. Tapi tatapan kosong itu melanglang buana, terbawa pikirannya yang berkutat membayangkan cercaan dari kerabat, hinaan dari khalayak. Bahkan mungkin titah untuk segera meninggalkan tanah tempat aku hidup karena kenistaan yang tak kuingin ini.

Kini tangannya meraih cangkir itu, bibir bergetarnya mulai menyesapnya. Aku sesak melihatnya. Tapi riak kopi itu membuatku ambruk, bersimpuh dan memeluk kakinya tanpa mampu berkata-kata. Aku hanya sesenggukan tanpa mampu menderas permohonan ampun. Seribu ucap itu mengalir lewat mataku. Sejuta maaf itu mengalun lewat isakku.

Beliau tak berucap cukup lama, hingga meluncurlah satu kalimat dari bibirnya yang kisut.

“Kamu kurang menambahkan satu sendok gula, De…”

Pahit. Kenyataan pahit itu beliau kiaskan lewat takaranku. Kalimat sederhana yang menggambarkan betapa kecewanya beliau pada anak yang digendongnya sedari kecil. Betapa nistanya aku membalurkan lumpur ini ke wajahnya yang teduh. Beliau mengusap rambutku lantas meraih pipiku. Aku menatapnya dalam remang mataku.

“Tapi satu yang kita lupa. Bukankah kopi pahit itu adalah obat agar kita tetap terjaga, menjaga harta kita yang paling berharga? Menjaga agar kita mampu berdiri di sepertiga malam terakhir? Kopi pahit adalah sebagian jalan hidup. Kamu adalah anak bumi, kamu juga anak matahari dan anak angin… dan kamu adalah anak Abah yang hebat.”

****

Senja itu turun dengan perlahan. Meninggalkan siang yang mendung, menuju malam yang menenangkan. Aku masih bersimpuh di kaki abah, menolak beranjak meski panggilan merdu itu saling bersahutan. Abah bangkit dan menuntunku. Menimbakan air wudlu untukku. Dan aku tak mampu berhenti terisak ketika beliau memakaikan sarung untukku. Melilitkan kain itu dipinggangku, persis saat aku belajar sholat saat lima tahun. Beliau menggelarkan sajadah untuk kami berdua, mengimamiku dan melantunkan ayat-ayat itu dengan pelan, tak mampu membaca keras karena getar bibirnya.

Selepas meraup wajahku, aku mendekap abah. Membaui wangi tubuhnya. Wangi yang mengantarku pada imaji dimana Abah menggendongku saat aku baru lahir, mengadzaniku di telinga kiriku, mendendangkan iqomat di telinga kiriku, menjunjungku setinggi mungkin saat aku baru belajar berjalan. Menuntunku melewati pematang sawah, dan deretan itu masih terus berputar dan tak terputus.

Abah merangkulku. Tersenyum getir dengan mata sembab.

“Di dunia ini banyak yang tak berlaku seperti ingin kita karena kedudukan kita hanya sebagai makhluk. Apapun dan bagaimanapun kamu, darah abah mengalir dalam tubuhmu. Sebelum datang mereka yang akan merajam tubuhmu dengan batu, sebelum darah mengucur dari kepalamu, carilah tanah dimana kamu akan menjadi sebaik-baik manusia. Dirikan gubuk-gubuk tempat mengajar anak-anak matahari, tebarkan ilmu pada pewaris para raja. Purnama menjadi saksi bahwa aku adalah abahmu. Aku ridho atas engkau.”

Aku mendesah, masih enggan melepas pelukan dari tubuhnya yang bergetar. Aku tahu beliau sayang dengan teramat padaku. Tapi kenistaanku mengharuskanku pergi meninggalkan beliau sendiri di gubuk ini. harusnya aku menjaganya selepas si brengsek itu menginap di hotel prodeo, dan kakak perempuanku tak kuasa menolak titah suaminya ikut ke rantau. Aku yang selayaknya mengurusnya, memandikannya saat beliau sakit, memasakkan bubur untuknya, membersihkan kotorannya. Harusnya aku tetap di sini mendampingi masa tuanya. Tapi kenistaan ini membuat kami harus berjarak. Membuatku harus membiarkannya dengan kehidupan sebatang kara.

*****

Kumandang adzan di sela-sela deru mobil kembali mengingatkanku bahwa aku harus kembali menghadapnya. Memohonkan ampun pada-Nya atas ketidakmampuanku menjaga hati. Mendoakan Ibu, memintakan syurga buat Abah yang memang pantas mendampingi ibu di sana. Memohonkan Dia kirimkan seribu malaikat untuk menjaga beliau, memohonkan segala yang terbaik untuk guru keikhlasanku, guru ketegaran dan juga guru kehidupanku.

 

INTERMISSION

 

 

 

ZAMRUD

8 Komentar

CUAP2 NAYAKA

Salam…

Seperti tertulis, Zamrud. Cerpen ini indah seperti judulnya.

Aku ingin memberitahu sepenggal kisah yang kutemui di kehidupanku, sepintas saja. Sahabatku, aku sering memanggilnya Roel. Aku memandangnya sebagai sosok sahabat sejati, bagiku. Tak perlu kujabarkan makna kata ‘sejati’ yang aku yakin Para Sahabat pasti sudah lebih tahu penjabarannya. Lalu ketika aku mulai sering berkunjung ke rumahnya (bahkan kadang menginap), pandanganku buatnya bertambah. Apa itu? Dia juga adalah sosok kakak sejati. Adiknya, Liz, sekarang mungkin berumur delapan belas tahun. Sama dengan cerita kawan Abi ini, Liz menderita Down Syndrome juga. Seorang gadis belia yang bila ia berada dalam kondisi normal sedang mengalami masa-masa indah masa remaja (mempercantik diri, melirik-lirik pemuda yang menarik perhatiannya, berpuitis ria dengan gebetannya lewat sms, atau mempersiapkan surat cinta mereka), tapi Liz justru menjadi suri rumah, dia tak mengenal masa-masa itu. Lalu Roel? Inilah sejatinya sahabatku itu, aku suka terharu melihat seperti apa dia mengurus adiknya bila Sang Ibu sedang tidak berada di rumah, aku kerap kehabisan kata-kata tiap kali Roel bilang “Mau cari gelang buat Liz…” saat beberapa kali dia pernah mengutarakan hal itu di awal bulan. Liz begitu maniak akan gelang, anehnya, hiasan pergelangan tangan itu tak pernah lama bertahan di lengan Liz, entah rusak, entah hilang atau dibuangnya. Yang pasti tidak bertahan lama. Dan bila sudah tak ada, dia akan sibuk berucap “gelang, gelang!” sepanjang hari.

Dan Roel, meski hanya gelang rantai besi murahan, bila sudah niat pasti akan dibawanya pulang. Aku juga pernah dengar ibunya berucap, “Baju Liz, Bang Yon yang belikan…” saat beliau melipat cucian kering di depan tayangan sinetron. Aku merasa berada di tengah-tengah keluargaku sendiri bila sedang di rumah Roel…

Tuhan, apakah aku bisa menjadi Roel buat adik seperti Liz, jika aku Kau takdirkan memiliki adik demikian?

Happy reading, Sahabat. Abaikan cuap2ku di atas. Cerpen Kawan Abi yang ke-8 ini bukanlah bacaan yang sia-sia.

Kawan Abi, maaf aku nyampah di cerpenmu ini, tapi kamu gak berhak marah, aku punya hak peto sebagai yang punya rumah. He he he…

 

Wassalam

Nayaka al Gibran

___________________________________________________________________________

ZAMRUD

By : Abi Zaenal

Suara gelak tawa masih terdengar renyah dan menimbulkan gema yang indah. Aku melongok dari ruang kerjaku, memundurkan sedikit lantas menjinjitkan kursi yang kusenderi dan tersenyum lega. Bola karet itu menggelinding di atas lantai, lantas terpatul-pantul dengan lincahnya sampai sudut ruang tengah. Aku menarik nafas dalam-dalam lantas menghembuskannya dengan pelan. Rasanya letih itu lenyap setiap mendengar tawa renyah anakku yang sekarang sedang asik tertawa sendiri dengan bolanya. Lalu aku kembali pada berkas-berkas yang masih menumpuk di atas meja.

Tapi bingkai foto di depanku begitu menggodaku untuk meraihnya. Kujangkau bingkai itu dengan tanganku, lantas mengusapnya lembut dengan ujung jemariku. Mengusap gambar wajah dan senyum ceria dua anakku yang sedang mengapitku. Renaldi yang sedang anteng memegang bola kesayangannya, dan Sigit yang lucu sedang mencium pipiku. Aku kembali tersenyum sambil mengusap foto yang diambil tiga tahun lalu.

Renaldy, anakku yang istimewa. Istimewa karena di usianya yang sudah menginjak tiga belas tahun, dia hidup dalam dunianya sendiri. Menurut dokter, anakku yang manis itu menderita Down Syndrome. Suatu penyakit kelainan mental yang banyak menjangkiti. Kadang aku ingin marah saat anak lain mengatainya idiot. Perasaan seorang ibu pasti akan terluka setiap mendapati anaknya diteriaki seperti itu. Kenapa mereka tak punya rasa empati? Toh kami tak meminta Tuhan menjadikannya seperti ini. Tapi tidak, sekali-kali aku tak akan mengutuki anugerah Tuhan ini meskipun sekarang suamiku entah dimana. Dia terlalu pengecut untuk menjalani hidup seperti ini.

Biasanya aku baru bisa menemaninya bermain selepas mengerjakan tugas kantorku yang menumpuk ini. Di setiap hariku, sebisa mungkin aku tak lembur. Lebih baik kerjaanku yang belum selesai aku kerjakan di rumah sambil menemani dan mengawasi Renaldy, anakku yang manis. Tapi rasa penasaran melandaku saat tak kudengar racauannya. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke ruang tengah, tempat Renaldy bermain.

Dia tampak asik sekali dengan pensil yang dipegangnya, bukan, bukan dipegang, tapi digenggamnya. Dia begitu senang dengan apa yang dia lakukan. Menggambar. Dia paling senang menggambar. Aku sering tertawa senang setiap melihat hasil gambarnya. Mulutnya sering menggumamkan sesuatu yang tak jelas.

Detak jam yang menempeli dinding mengingatkanku, bahwa Sigit belum juga pulang. Padahal sekarang sudah jam tujuh petang. Meskipun tadi pagi dia bilang bahwa dia akan pulang lebih sore dari biasanya, dan akan diantar oleh kakak temannya, tapi tetap saja aku merasa tak tenang. Ah, ternyata benar kata ibuku dulu, seorang ibu akan masih mengkhawatirkan anaknya walaupun dia sudah besar. Tapi belum, Sigit masih kelas lima SD, dia masih putra kecilku, walaupun sekarang dia sudah enggan kucium pipinya saat kuantar ke sekolahnya. Dia juga selalu tak mau saat aku membekalinya makanan dari rumah. Dan aku juga pernah melihatnya berjalan berdua dengan seorang gadis seusianya saat hendak menjemputnya. Ah, rupanya anakku itu sudah mengenal yang namanya cinta.

Aku mendongak ke arah pintu karena terdengar suara ketukan kemudian terbuka dan muncullah raut muka cemberut dari Sigit. Dia terlihat lelah sekali. Aku menghampirinya dan mencoba melepaskan tas yang tersampir di pundaknya. Tapi dia melepaskannya sendiri dan menaruhnya di atas lantai tanpa berkata sedikitpun. Tak ada cium tangan seperti kemarin, tak ada binar matanya menceritakan kejadian di sekolahnya yang membuatku tergelak dan kadang mengernyit. Kali ini dia langsung melepaskan sepatu juga kaos kaki yang dia kenakan dan bergegas masuk ke dalam kamarnya tanpa bicara sedikitpun kepadaku.

Mungkin anakku kelelahan dengan acara sepulang sekolahnya tadi.

Tapi naluri seorang ibu menghantarkan langkahku ke kamarnya. Saat pintu kamarnya kubuka, kulihat dia sudah menelengkupkan badannya di atas kasur yang dibalut seprai bergambar Spiderman, tokoh superhero kesayangannya. Baju seragam masih melekat di badannya. Padahal biasanya dia yang selalu langsung mengganti seragamnya tanpa mau kubantu.

“Kenapa tidak dilepas dulu seragamnya, Sayang.. Mamah bantu lepaskan ya…” aku mencoba mendekatinya lantas duduk di tepi ranjang.

“Aku sudah besar, Mah…”

Itulah kalimat yang keluar dari mulutnya. Tapi aku seorang ibu dan dia tetap anakku. Seorang ibu pasti akan merasakan apa yang bahkan tak diucapkan oleh anaknya. Hanya seorang ibu yang mampu memahami apa yang diucapkan oleh anaknya, bahkan yang masih belum fasih bicara sekalipun.

Kini dia pura-pura tertidur memunggungiku sambil memeluk guling. Aku menjangkaunya, duduk di sampingnya sambil mengusap rambutnya. Biasanya dia akan berbalik ke arahku dengan lipatan kedua telapak tangannya di bawah pipinya sambil tersenyum manis. Memintaku menceritakan kisah para sahabat Rosul atau mengisahkan kisah legenda yang waktu itu diceritakan oleh kakeknya di kampung, atau merayuku agar membelikan kaset film yang banyak tentang superhero. Tapi tidak saat ini. Dia masih pura-pura tertidur.

Tapi tentu aku lebih tahu desah nafas saat dia tertidur.

“Makan dulu sayang, tadi Mamah sudah masak nugget kesukaan kamu. Yuk…”

Sigit bergeming.

“Mamah tadi lihat robot-robotan Spiderman loh, satu buat kamu, satu lagi buat Kak Enaw…”

Enaw adalah panggilan untuk anakku, Renaldi.

Dan sekarang tubuhnya berbalik ke arahku, masih dengan tampang cemberutnya. Aku kembali mengusap rambut halusnya yang sekarang berjambul. Aih, aku selalu ingin tertawa setiap melihat anakku yang tumbuh kembang setiap harinya. Tadi pagi dia tampak berlama-lama di depan cermin, terus saja membetulkan rambutnya yang dia buat berjambul. Dia pasti sedang jatuh cinta. Anakku yang baru menginjak kelas lima SD sudah jatuh cinta.

“Anak mama yang ganteng, kenapa cemberut terus…?” aku mengelus pipinya yang tampak menggembung lucu. Dia hanya merengut lantas terduduk menghadapku. Mata bulatnya terlihat indah.

“Anak perempuan yang dikuncir itu namanya siapa..?” tanyaku mulai menggodanya. Sekarang pipinya tampak memerah. Dia tersipu. “Namanya Linda, kan?”

Lagi-lagi dia tersipu. Apakah dia akan bilang bahwa anak perempuan itu adalah pacarnya? Hmm… dia terlalu kecil untuk pacaran. Apakah efek dari tayangan televisi yang tidak mendidik itu menyebabkan hampir semua anak tumbuh dewasa sebelum waktunya?

“Dia temen aku Mah…” suara manjanya itu akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Lantas, kenapa anak Mamah yang pinter ini cemberut..? Ayo dong, cerita ke Mamah.” Ucapku sambil mengusap rambutnya. Sekarang matanya tampak mencelot ke atas dan badannya bergoyang kanan-kiri dengan lucunya, lantas terkekeh sendiri.

“Menurut Mamah dia cantik gak?”

Alisku mengerut. Tak bisa kusembunyikan senyum geliku mendengar pertanyaannya. Tapi bukankah seorang ibu sudah seharusnya menjadi labuhan pertama anaknya? Seorang ibu itu adalah madrasah, gudang segala apa yang ingin diketahui anaknya. Aku tak akan marah mendengar pertanyaan seperti itu. Seorang anak harus tahu tentang dunia luar dari ibunya. Bahkan ketika anakku bertanya tentang sex, aku akan menjelaskan padanya, tentu saja dengan bahasa yang bisa diterima anak seumurnya.

Bukankah kita harus mendidik anak sesuai dengan zamannya? Toh hal itu jauh lebih baik daripada dia mencari jawaban di luaran yang sering tak beretika. Dan di sini aku harus menjalankan peranku sebagai seorang ibu, juga sebagai seorang ayah sekaligus. Aku harus mengarahkan putraku pada jalur yang selayaknya.

“Menurut Mamah, dia itu anak yang cantik. Dia itu yang juara satu itu, kan?” Dia mengangguk cepat, mengiyakan pertanyaan retorisku. “Nah, seorang wanita itu pasti akan suka sama anak laki-laki yang pintar. Jadi Igit harus belajar yang rajin biar bisa pintar. Kalau dia gak bisa mengerjakan soal, Igit kan bisa ajarin dia.”

“Iya gitu, Mah?”

“Selain itu wanita juga suka anak yang rajin, yang kuat. Makanya kalau libur, kamu olahraga di rumah, bantuin mamah…” dia terkekeh mendengar celotehku.

“Menurut mamah, kalau aku sudah pintar, rajin, terus rambut aku dimodel spike begini, dia bakal suka aku?” pertanyaan lugu yang menggelitikku. Dan aku hanya mengernyit menahan tawa. Ah, anak zaman sekarang bahasanya pun sudah canggih sekali. Dan aku hanya bisa mengangguk.

“Tapi… tadi aku kesal Mah sama temen aku. Dia terus saja ngeledek aku karena Kak Enaw…” raut cemberutnya kembali muncul. Jadi ini yang membuatnya pulang dengan raut cemberut seperti tadi.

Inilah hal yang sering kami alami. Sigit selalu menjadi korban ledekan teman-temannya. Bahkan dulu dia pernah berkelahi dengan teman-temannya saat dia terus saja diledeki karena memiliki kakak seperti Enaw. Sampai di rumah dengan baju kotor dan raut kusut, dia akan langsung masuk kamar sampai aku membujuknya, dan menjelaskan secara perlahan tentang apa yang Enaw alami.

“Kenapa sih, Mah… Kak Enaw seperti itu? Kenapa kakakku gak kayak yang lain? Ivan sering cerita kalau dia sering dibantuin ngerjain PR matematika sama kakaknya. Dia juga sering main bola sama kakaknya, main PS bareng…” Sigit berceloteh terus, membandingkan Renal dengan kakak temannya yang lain.

Dadaku mulai riuh, ada sedikit sesak dalam hatiku. Tapi aku tak boleh marah. Itu adalah rasa yang manusiawi, apalagi oleh anak seumuran Sigit. Dia pasti menginginkan sosok kakak yang kuat, yang bisa menemaninya belajar, melindunginya saat dia dijahili anak-anak nakal, hal yang tidak bisa dia dapat dari Renal.

“Sekarang Mamah mau nanya sama Igit. Kalo Igit punya berlian, apa yang akan Igit lakuin?” Raut wajahnya sedikit mengendur. Dia terlihat berpikir sejenak.

“Aku bakal jaga berlian itu mah. Aku gak bakal biarin berlian itu diambil, atau dicuri oleh siapapun. Aku bakal terus ngelindunginya..”

“Nah..kakakmu itu adalah berlian yang Tuhan hadiahkan buat Mamah, buat Igit juga. Tuhan nyuruh Mamah buat ngejaga, terus ngelindungin dia. Igit mau bantu Mamah kan buat jaga Kak Enaw, berlian yang Tuhan titipin ke Mamah?” aku mencoba menjelaskan padanya dengan silogisme sederhana. Tapi anakku ini adalah anak yang cerdas. Dia pasti akan terus memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang merepotkan sampai dia puas dengan jawaban yang dia terima.

“Berlian itu kan istimewa, Mah. Kalau Kak Enaw istimewanya apa coba?”

Aku tertegun, kehabisan kata. Aku tak mampu menderas kata-kata untuk menjelaskan betapa istimewanya Renal bagiku. Lantas aku mendengar pintu kamar kembali terbuka. Dan Renal masuk ke dalam kamar dengan langkahnya yang tak sempurna. Dia tampak tertawa riang dengan mulut basah. Di tangannya terkibar-kibar selembar kertas. Setelah sampai di tepi ranjang, dia menjangkauku, kuusap bibirnya yang basah dengan kaosnya. Dengan gerakan tangan yang ringkih dia mengulurkan kertas itu ke arah Sigit. Sigit menatapku dengan tatapan heran. Lantas tangannya meraih kertas gambar itu dan dia segera menunjukkan gambar itu padaku.

Rasa sesak muncul saat gambar seorang yang berkerudung, sedang menuntun dua anak di kanan kirinya. Anak dengan rambut jambul dan juga anak yang sedang tertawa lebar. Aku lantas mendekatkan badan Renal, mengelus dan mencium rambutnya, kemudian mencium pipi Sigit.

“Lihat, Kak Enaw udah ngasih hadiah gambar ini buat Igit. Bukankah Kak Enaw itu hebat?” Sigit memandangku sebentar, lantas tersenyum manis.

“Sini Kak Enaw naik. Kak Enaw, ini Igit? Masa Igit rambutnya jelek begini…? Kan sekarang Igit udah di-spike…” Enaw hanya terkekeh dan aku mengelus rambutnya lagi. Dia memang anakku yang istimewa.

“Sudah, sekarang Igit mandi dulu, terus makan. Jangan tidur malem-malem ya, besok kan kita mau jalan-jalan…”

“Beneran, Mah…? Asik… Kak, besok kita jalan-jalan…”

“Apa Mamah ajakin mamahnya Linda sekalian ya…” aku menggodanya.

Dan Sigit semakin tersipu. Dia tertawa malu-malu. Bilang jangan tapi matanya merajuk.

Ah, aku adalah seorang ibu paling bahagia di dunia, karena Tuhan telah menitipkanku satu zamrud, dan juga satu berlian untukku. Tuhan tahu zamrud itu harus kujaga. Akan ada makna dari setiap yang Dia takdirkan. Akan ada kebahagiaan dari setiap cobaan yang Dia hadiahkan untukku.

 

 

 

YEOBOSEYO

5 Komentar

YEOBOSEYO (Hallo)
By. Choi Ha Soo

Tuuut… Tuuut.. Tuuuut.. Tuuut..
“Nomor yang anda panggil sedang tidak aktif, silakan hubungi beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Tuut..
“Halo, sayang. Apa kamu sudah makan, aku mengkhawatirkanmu. Di luar hujan, aku harap kamu tidak kehujanan. Berteduhlah dan biarkan hujan reda.”
Beberapa kali aku coba menghubunginya namun tak pernah ia angkat, aku pikir mungkin dia sedang di jalan. Atau mungkin sedang bekerja, menemui kliennya. Aku coba berpositif thinking tentang apa yang dia lakukan disana. Hari ini genap satu tahun kita menjalin hubungan, semakin hari rasa sayang, perhatian dan waktu semakin berkurang. Aku coba tanyakan kenapa, dia jawab
“aku sedang sibuk sayang. Jadi aku mohon kamu mengerti”.
Baiklah aku akan mencoba mengerti kamu sayang, karena janjiku akan mencintaimu di saat senang dan di saat dukamu. Sayang maafkan aku bila selama ini aku tak pernah percaya kamu, sejujurnya aku khawatir akan kesetiaan janji kita.

~~~~~~

Hari ini, aku pergi ke perpustakaan kota yang terletak di seberang kantor tempatmu bekerja. Tak ada niat memang untuk memata-mataimu, aku memang berniat untuk mengembalikan beberapa buku yang ku pinjam dari perpustakaan karena masa kembalinya sudah habis. Ketika selesai aku keluar dari perpustakaan itu, mataku melihat dirimu sedang mengobrol asyik dengan seorang lelaki seusiamu. Sedikit pun aku tak menaruh curiga, pikirku mungkin itu kawan kerjamu.
Jadi aku biarkan dirimu disana dan aku bergegas pergi ke halte di dekat-dekat situ. Sedikit perhatianku padamu, dengan mengirimimu pesan singkat mengingatkan agar tak lupa untuk makan siang dan beribadah shalat dhuhur. Aku harap kamu membaca dan menurutinya.

~~~~~

Jam menunjukan pukul 10 malam aku menunggumu di rumah kontrakan kita, bukan kah kamu berjanji akan menemaniku belajar untuk UTS besok. Aku coba menelponmu untuk mengetahui keberadaanmu.
Tuuut.. Tuuut… Tuuuut…
“nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif silakan coba hubungi beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”.
Tuut..
“Halo, sayang. Kamu dimana ini sudah larut malam, bukan kah besok kamu masih harus berangakat pagi dan bekerja kembali. Jangan takut, aku tak akan merepotkanmu untuk menemaniku belajar jika kamu pulang. Aku sedang belajar sekarang, hati-hati di jalan dan segeralah pulang”.

~~~~~~

Bunyi alarm handphoneku berhasil membangunkanku, aku dapati diriku terbangun di atas kasur sendirian. Tak ada tubuh yang berbaring di sebelahku, tiba-tiba perasaanku kalut. Kuraih handphoneku dan kucoba menelponmu.
Tuuut… Tuuut… Tuuuut…
“maaf nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, silakan coba hubungi beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Tut..
“halo, sayang. Aku tidak melihatmu terbaring di kasur, saat ku cari di sekeliling rumah kontrakan pun tak kudapati dirimu. Semalam apa kamu tidak pulang? Ada lembur lagi kah?”
Aku berpikir mungkin kamu sedang banyak kerjaan di kantor, dan untuk itu tidak dapat pulang. Akhirnya setelah kucoba menenangkan diri, aku bergegas ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhku dan beranjak ke kampus. Hari ini UTS pertama di semester 4, aku tak cukup bersemangat seperti dulu saat kamu pertama kalinya hadir di hidupku saat itulah kamu selalu memberiku semangat untuk terus belajar demi mengejar cita-citaku.

~~~~~

Ujian di mulai, aku mencoba mengalihkan pikiranku sejanak tentang dirimu, dan berkonsentrasi pada lembar soal yang sekarang ada di hadapanku. Bahan materi yang aku pelajari semalam semburat hilang seketika teringat akan dirimu yang tadi malam tak pulang. Mas-mas pengawas ujian di depan mengingatkan peserta ujian bahwa waktu yang tersisa tinggal 20 menit lagi. Astaga lembar jawabanku masih kosong. Sayang maafkan aku, kali ini aku bodoh, aku berbuat salah. Aku bersi keras mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada, sedikit demi sedikit ingatanku kembali kepada bahan materi yang aku pelajari tanpa mu semalam. Kurang satu pertanyaan lagi tapi.. pengawas mengambil lembar jawabanku karena waktu sudah habis.

~~~~

Sepulang dari ujian, di tengah perjalananku menuju rumah kontrakan kita. Ada niatan untuk kembali mencoba menghubungimu. Kali ini tak terdengar bunyi tuuut.. tuuut.. tuuut.. lagi sebelum costumer representatif berbunyi.
“ maaf nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, silakan coba hubungi beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Belum berbunyi nada tut.. yang dimaksudkan aku menekan tombol reject. Kemudian aku berpikir, mungkin kamu lupa mengcharger handphonemu.

~~~~

Senja berlalu, rembulan berpulas senyum menawan disana, aku bisa menikmati keindahannya. Namun tak beberapa lama kemudian awan hitam menutupinya, pertanda akan turun hujan. Sayang kamu dimana? Kenapa tak memberi kabar padaku, aku mulai cemas akan hal ini, lalu aku coba datang menghampirimu di kantor tempatmu bekerja. Walau hujan mendera aku beranjak kesana, ketika aku sampai di depan perpustakaan kota dan hendak menyebrang jalan, aku melihat dirimu bersama lelaki kemarin. Kali ini kalian terlihat lebih akrab, maafkan aku sayang aku tiba-tiba cemburu setelah melihatmu bersamanya. Aku coba menelponmu, aku harap kamu mengangkatnya.
Tuuut.. tuuut.. tuuut..
Sayang angkat telponmu, aku melihatmu dari jauh. Kenapa kau tidak mengangkat telponku. Aku jadi semakin penasaran pada dirimu, kenapa tak kau angkat telponku. Lalu kau beranjak masuk ke dalam sebuah taxi yang kau stop tadi, sayang pergi kemana? Ini sudah waktunya pulang.
Rasa penasaranku bergejolak, akupun mengikutimu dari belakang maafkan aku sayang. Aku mulai tak percaya padamu, taxi yang membawamu dan lelaki itu berhenti di sebuah motel. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 12 malam. Kamu menuju loby motel itu dan menanyakan kamar kepada petugas yag ada di loby itu, katanya kamar sudah penuh. Kemudian aku tak begitu mendengar jelas apa yang kamu bicarakan dengan lelaki itu. Kamu pergi bersamanya, masuk ke dalam toilet yang sepi dan kalian berdua masuk kedalam skat kamar mandi paling ujung. Aku mengikutimu dengan hati-hati agar tak ketauan, sengaja akupun masuk kedalam skat kamar mandi nomor 3 berjarak 2 skat dari tempatmu dan lelaki itu berada. Aku mendengar suara desahanmu, desahan seperti saat kita memainkan sebuah permainan di ranjang rumah kontrakan kita. Sayang apa yang kau lakukan bersamanya disana. Tiba-tiba airmataku menetes, sayang apa kau tau bagaimana perasaanku saat ini? Sayang aku percaya kamu, tapi kamu..
Dengan tangan bergetar dan tangis tertahan, aku mengambil handphone dari dalam tas samping kecil pemberianmu. Aku tekan nomor mu dan suara tuut.. tuut.. tuut.. berkumandang di telingaku, handphonemu berbunyi aku mendengarnya sayang, nada dering itu, bukankah aku yang memilihkannya untukmu. Sayang aku tak sanggup menahan tangisanku, aku tak sanggup terus berada disini mendengar desahan desahanmu.

~~~~~

Kejadian semalam itu membuat kondisi ku melemah. Sepulang ujian, aku pergi ke klinik dengan langkah lunglai. Dokter klinik itu memeriksaku, dengan stetoskopnya dia memeriksa debar jantungku. Kata dokter klinik itu,
“kamu harus dibawa ke rumah sakit, saya akan buatkan surat rujukannya. Detak jantungmu lebih cepat dari orang normal kebanyak semuumurmu, apa kamu punya riwayat sakit jantung?”
Pertanyaan dokter klinik itu membuyarkan lamunanku tentang desahan desahanmu semalam.
“iya dok punya, tapi kata dokter saya dulu. Penyakit jantung saya sudah sembuh” jawabku.
Dokter klinik itu melihatku sambil memutar-mutar bolpoint di ujung kedua jemari jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Bisa jadi itu belum sembuh total” sahutnya kemudian.“Terakhir kali kapan doktermu itu bilang kamu sudah sembuh dari penyakitmu?” pertanyaan kedua muncul dari mulut dokter itu. Aku mencoba mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali dokter jantung itu berkata aku sudah sembuh, dan kudapati waktu itu.
“kira-kira 1 setengah tahun yang lalu dok” jawabku tak yakin.
“begini saja, kamu telpon orang tuamu agar datang kesini dan menemanimu rongcent. Saya tidak yakin jantung kamu baik-baik saja. Supaya lebih jelasnya kamu harus rongcent, ini surat rujukannya”
Dokter klinik itu memberikut surat rujukan, aku tak menuruti kata dokter tadi untuk menelpon orang tuaku. Toh aku masih bisa pergi ke rumah sakit sendiri, sudah dua hari ini kamu tak pulang ke rumah kontrakan kita. Sayang apa kamu masih bersamanya?

~~~~

Hari ini hasil test rogcent ku keluar, dokter jantung memanggilku.
“nak kamu sendiri kesini?” tanya dokter itu basa-basi.
“iya dok, bagaimana hasil testnya dok?” tanyaku tak sabar menunggu beliau memberikan hasil testnya.
Sambil mengeluarkan hasil rongcent dari dalam amplop coklat yang bertuliskan namaku dipojok kanan bawah, dokter itu berkata.
“kamu terkena jantung Aritmia nak, jenis penyakit jantung yaitu gangguan irama atau detak jantung yang kadang lebih cepat kadang lebih lambat dan tidak teratur”. Jelasnya padaku.
Aku masih terdiam dan mendengarkan penjelasanyan, dan berharap masih ada kemungkinan penyakit jantung itu bisa sembuh.
“faktor utama yang menimbulkan penyakit ini karena kurangnya kalsium dan terjadinya penyumbatan pembuluh darah, efek yang dihasilkan dari penyumbatan pembuluh darah ini akan menyebabkan serangan jantung”
“lalu apa masih bisa disembuhkan dok?” tanyaku
“masih asal kan kamu bisa mengatur pola makanmu, hindari stress maka kamu akan sembuh”, jelasnya.

~~~~~

Aku bersyukur penyakitku masih bisa disembuhkan, aku bergegas beranjak pulang. Menunggu taxi yang lewat. Aku melihatmu lagi bersama laki-laki itu, ketika aku hendak memanggilmu dan menghampirimu, kamu sudah lebih dulu pergi dengan mengendarai taxi. Sayang apa kau akan melakukan hal seperti kemarin bersamanya? Dadaku terasa sesak, nafasku terpotong-potong aku jatuh di trotoar rumah sakit. Seseorang menolongku, tapi tak berapa lama kemudian aku dapat mengontrol nafasku kembali. Akhirnya aku pulang ke rumah kontrakan kita, aku harap aku segera bertemu denganmu. Aku mohon padamu untuk menjelaskan semuanya padaku, jangan ada kebohongan, jangan ada kata perpisahan. Buat aku nyaman seperti dulu sayang, buat aku tersenyum melihat tingkahmu menyanyikan lagu romantis dengan suara mu yang tidak romantis itu. Buat aku kembali sehat sayang.. jangan kau siksa aku seperti ini.

~~~~

Cklek…
Suara pintu terbuka, kamu akhirnya pulang. Aku tak langsung menanyakan kenapa dua hari ini kamu tak pulang. Karena wajahmu ketika kulihat, tanpa senyum. Jadi aku hanya bisa tersenyum melihatmu, dan menawarkan air hangat untukmu mandi. Seusai mandi, aku sudah berada di ranjang kasur. Biasanya kamu langsung meloncat ke kasur dan memelukku, tapi kali ini tidak. Kamu berlahan duduk di pinggiran kasur dan mengeringkan rambutmu yang basah, tak ada kata terucap dari bibirmu. Akhirnya aku yang memulai percakapan.
“Sayang dua hari ini sibuk sekali ya di kantor, sampai-sampai kamu tidak pulang” tanyaku.
“iya banyak sekali klien yang harus kutemui, bagaimana ujianmu? Lancar?”
“alhamdulilah lancar”
“ya sudah ayo kita tidur, aku sangat lelah”
Lampu kamarpun kumatikan, sayang kamu sangat berbeda sekarang. Aku tak berani menanyakan hubunganmu dengan laki-laki itu dan mengenai apa yang kau lakukan bersamanya di toilet motel waktu itu. Aku takut kamu menjadi marah, tapi aku tak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan ini di hati.
“sayang..”
“hmmm…”
“beberapa hari ini aku sering pinjam buku di perpustakaan depan kantormu”
“iya terus..”
“aku melihatmu bersama seorang lelaki waktu itu, kalo boleh tau siapa laki-laki itu?”
“teman kantorku”
“aku juga melihatmu bersamanya pergi ke motel, apa yang kalian lakukan disana?”
“kamu membuntutiku?” tiba-tiba dia beranjak dari tidurnya.
“maafkan aku sayang, aku mendengar semua walau tak melihat langsung apa yang kalian lakukan di dalam toilet motel waktu itu” tangisanku pecah seketika.
Kulihat dia hanya terdiam dan kemudian bangkit dari ranjang tempat tidur, mengambil koper dan memindahkan baju-bajunya kedalam koper tersebut.
“mau kemana sayang.. tanyaku sambil terus menangis”
“aku mau pergi, aku sudah bosan denganmu.” Jawabnya seperti tak menyadari apa kesalahannya.
“tapi kamu sudah berjanji akan terus bersamaku”
“lupakan janji ku waktu itu, aku tak benar-benar sayang padamu”

~~~~

Malam itu dia pergi, pergi membawa baju dan sedikit debaran jantungku. Karena kurasakan sekarang jantungku semakin melemah. Sepulang dari ujian terakhir di UTS semester 4. Aku pergi ke kantornya hendak memberikan surat kepadanya, surat yang kutulis semalam saat kepergiannya pada sisa-sisa debar jantungku yang melemah. Aku menitipkannya pada satpam di kantornya, berpesan untuk memberikan kepada Fio nama kekasihku.

~~~~

Aku pulang ke rumah kontrakan itu, debar jantungku semakin kurasa lemah. Nafasku mulai tak beraturan, aku menelpon kedua orang tuaku untuk datang menjemputku. Mataku sudah berkunang-kunang tak sanggup lagi untuk berdiri. Aku tergeletak di teras rumah kontrakan.

Fio POV

Sepulang kerja, satpam kantor memberikan sepucuk surat dengan amplop warna coklat muda. Yang bertuliskan kepada Fio Anggara Putra, nama lengkapku. Saat ku buka isi amplop itu, tulisan tanganmu yang rapi itu menarikku untuk membacanya.
Untuk Fio pemilik debar jantungku,
Dulu kita pernah sepakat menyebut jantung ini radar, kelak bila antara kita ingkar, ia tak akan menunjukkan detak dengan benar. Tentu kamu tau sekarang jantungku tak menunjukkan detak dengan benar.
Sayang ibarat suara kau adalah nadanya, dari C ke G kau alunkan simphony hati dari yang terindah sampai yang terlara. Tentu kamu tau, kau sedang memainkan nada simphony yang mana.
Padamu, aku tak menitipkan apa selain detak jantung yang seakan akan berhenti ini dan cinta yang kutitipkan ini padamu.. pemilik debar jantungku.
Jika kepergian adalah takaran seberapa pekat rinduku, maka izinkanlah aku pergi lebih lekat lagi pada titik detak jantungku. Agar kau tau seberapa besar cinta yang ku miliki ini.

Your love
Fabian

~~~~~~

Hari ini aku datang ke pemakamanmu, sengaja aku tak mengenakan baju warna hitam. Karena aku tau kamu tak menyukai warna hitam, makanya aku datang dengan baju warna biru kesukaanmu. Aku tak tau harus bagaimana pada diriku yang bodoh ini, yang begitu bodohnya meninggalkanmu yang benar-benar mencintaiku. Maafkan aku sayang karena aku begitu tega membiarkanmu menderita, maafkan aku atas semua kebodohan-kebodohan yang menyakitimu. Aku menyesal telah berbuat begitu padamu.

 

 

ceritasolitude

kumpulan cerita sederhana dari seorang yang berhati rumit.