UGD

by : Javas

Yang kuinginkan sekarang hanya berlari, sekencang-kencangnya. Aku harus segera menemuinya saat ini juga. Tak peduli harus menembus blokade kewajiban yang menggunung. Juga, sisa kesal yang masih menempel di ujung mataku. Aku harus melihatnya saat ini juga, May!

Kau harus bertahan, atau aku akan membencimu… selamanya!

***

 “Hey!”

“Hmm, iya?”

“Apa kau percaya jika bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan?”

Aku menggeleng tipis sembari menyedot sisa jus pada gelas di depanku. “Kenapa? Aku lebih percaya dengan bualanmu.” Kulirik agak kecut wajahnya. Sesaat kemudian dia tersenyum. Lalu memandangi langit yang penuh gemintang.

“Selamat ya. Akhirnya kau mendapatkan wanita itu. Harusnya sekarang kita berpesta. Tidak cuma minum jus dan cemilan ringan untuk pencuci mulut.”

Aku tersenyum lebar lalu menariknya untuk lebih dekat. Menyandarkan kepalanya ke pundakku. “Harusnya kau juga juga mencari calon pendamping hidup. Tak mungkin kan kita selalu begini?”

“I..iya.” Dia mengangkat kepalanya perlahan lalu menggeser tempat duduk hingga kami agak jauh. Walau masih dihadapanku.

“Semoga bintang jatuh mengabulkan permintaanku, biar segera memiliki pasangan, seseorang sepertimu.”

“Sepertiku?” Aku mengernyit dan memandang rona merah di pipinya.

Dia membuang muka ke kiri. Memandangi penyanyi wanita di atas panggung yang nampak mengambil ancang-ancang suara. Suasana kafe kian ramai, sejalan malam yang kian pekat.

Dia masih tak memandangku hingga biduan itu memulai kata pertama di lagunya.

There’s a song that inside of my soul…

 

“Aku suka lagu ini.”

“Kita suka lagu ini. Ingat? Kita pernah lihat film dengan lagu ini sampai sama-sama menangis. Setelahnya kau selalu menyanyi setiap saat. Aku sampai pusing kau selalu bergumam.”

Kini dia memandang wajahmu, lembut.

… to be only yours I pray. To be only yours I know now you’re my only hope…

 

“Lagu inilah yang membuatku selalu ingin berdoa, bahkan oleh bualan bintang jatuh.”

“Kau bilang apa?”

Dia menggeleng sambil tersenyum. “Kita pulang saja. Malam semakin dingin.”

***

Aku berlari begitu taksi berhenti di depan rumah sakit. Kaki begitu saja bergerak tanpa harus aku perintah. Menyusuri lorong, bertanya setiap ada suster lewat, setiap ada dokter keluar dari ruangannya.

“Pasien akibat tabrakan yang baru saja datang ada di sebalah sana.” Suster itu menujuk tempat bertulis UGD.

Seketika nyawaku hilang saparuh. Kaki mendadak lemas dan ujung-ujung mataku panas, mulai berair. Kupaksakan untuk segera berlari ke kursi pesakitan di depan ruang UGD.

So I lay my head back down. And I lift my hands and pray…

 

“Apa kau pernah jatuh cinta?”

Dia mengangguk tipis sambil mengulas senyum separuh.

“Apa aku kenal dia?”

“Dia sangat dekat dengan kita, kau hanya tak menyadari saja.”

“Apa aku boleh tahu siapa dia?”

“Tak perlu.”

“Kenapa?”

“Mulai saat ini, aku berkomitmen untuk tak mencintainya lagi. Ayo kita pulang.”

Aku mengangguk dan membiarkan tanganku ditarik.

… to be only yours I pray. To be only yours I know now you’re my only hope…

Kakiku bergetar ketika dokter keluar dari ruangan. Dia memandangku biru. Lalu menundukkan kepala. Diikuti dengan beberapa suster yang keluar setelahnya.

Aku yang seharusnya tak dimaafkan May.

Pelupukku tak bisa menahan rembesan. Memandang dia ditutupi kain putih di dalam sana.

Jangan berhenti mencintainya, May.

________________________________________________________________

U.G.D

by : Nayaka Al Gibran

Kata orang, seribu teman bisa datang lalu pergi, namun seorang sahabat akan datang tanpa pernah pergi lagi. Dulu, aku ragu bisa memiliki seseorang seperti itu, tak pernah optimis bahwa kata-kata bijak tentang sahabat yang pernah kudengar adalah benar, sampai aku menemukannya sendiri di awal-awal masa remajaku. Nayaka al Gibran, orang yang aku yakini diutus takdir untuk menunjukkan padaku apa dan bagaimana seharusnya persahabatan itu. Gibran, sahabat yang aku fikir akan jadi teman sejatiku hingga tua nanti. Seiring waktu kami menjadi karib erat. Ketika remaja kami sering membayangkan jika suatu hari kelak akan duduk bersama di kursi panjang sebuah taman dengan jaket wol tua beraroma menthol sambil memperhatikan cucu-cucu kami bermain kejar-kejaran satu sama lain. Sekarang, saat aku tengah tergesa-gesa mengentakkan sepatuku di lorong serba putih ini, aku teringat kembali ucapannya suatu ketika dulu padaku.

‘Kita akan tua sama-sama, Jun. Kita akan melihat anak-anak kita berumah tangga, kita akan menceritakan pada cucu-cucu kita kelak seperti apa persahabatan kakek mereka. Akan kita tuturkan lagu persahabatan yang pernah kita dendangkan…’

Aku tak ingin percaya ketika kabar itu sampai padaku, bahkan aku sempat tertawa ketika adiknya memberitahuku lewat corong telepon, ‘Mas Gib dipukuli orang…’ Bagaimana mungkin ada orang tega mencelakakan sahabatku yang baik? Namun begitulah kenyataannya, sahabatku jadi korban penganiayaan. Sepanjang perjalananku menuju kemari, kukutuk habis-habisan bedebah-bedebah yang telah menyebabkan kesakitan atas diri Gibran. Tuhan, dia tak pernah punya musuh, aku sangat tahu seperti apa sahabatku itu.

Lalu kenangan bersamanya berkelebat satu-persatu, seperti kaset video yang diputar terus dan terus di kepalaku. Betapa tak tergantikan waktu yang telah kuhabiskan dengannya. Bermacam keisengan dan kenakalan masa remaja sudah pernah kulakonkan dengan Gibran. Menggoda gadis-gadis ber-rok mini di mall, menggombali cewek-cewek di kelas, mencoret gravity di tembok gedung terbengkalai di belakang sekolah, pesta petasan di depan rumah Kepsek saat malam pergantian tahun, mengganggu anjing tetangganya hingga menyalak ribut saat malam buta, hingga nyaris berhasil diseret ke kantor polisi ketika nekat ikut balapan liar untuk pertama kalinya jika saja dia tak cepat membawaku kabur dari sana. Aku juga masih punya gambaran ketika kami menghabiskan malam kelulusan SMA dengan gitar dan rokok hingga subuh di balkon kamarku. Pun masih tak lupa, dulu kami acap kali melewati waktu sore dengan cangkir mengepul dan sepiring penuh kentang renyah di kafé favorit sementara lagu kesukaan kami mengalun dari pemutar musik ponselnya. Sekarang, rasanya seperti semua itu baru saja kualami. Kebersamaan itu masih segar di kenanganku, begitu segarnya bagai baru terjadi kemarin.

Mataku mulai mengabut ketika entah dari mana sayup lagu itu terdengar. Ingatkanku semua wahai sahabat, kita untuk slamanya wahai sahabat, kita bagai cerita wahai sahabat…(*) Aku menoleh ke belakang di sela derap langkahku, suara itu seperti mengekor di belakangku. Entah berasal dari mana, rasanya seperti menyeruak keluar dari memoriku sendiri, tetapi ini terlalu nyata. Lagu yang sering kusenandungkan bersama Gibran, lagu yang telah memberi warna bagiku dan baginya selama bertahun persahabatan kami, kini sedang mengiringi langkahku menuju pintu UGD yang tinggal belasan meter di depanku. Mataku kian berkabut. Aku mulai berlari.

________________________________________________________________

Note :

(*) Penggalan lirik lagu Sahabat, dipopulerkan Peterpan