“Aku benci hujan, Aya!“ bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan – tepatnya sebuah pernyataan yang tidak kuharap akan kudengar, apalagi ditengah keasyikanku menikmati hujan yang tumpah ruah dari langit di siang ini. Kualihkan posisiku yang sedari tadi berdiri mematung memandangi tetes demi tetes air dari tirai awan yang bergelayut gemulai di helaian dedaunan, dari balik teralis besi yang memagari jendela kamar tidurku. Kutatap sepasang bola mata gadis itu – gadis yang mengatakan bahwa ia membenci hujan – yang sesungguhnya belum lepas seminggu kukenal. Pandanganku tepat menghunjam sepasang bola mata indahnya yang berwarna cokelat tua dibingkai bulu-bulu lentik, yang kerap berbinar jenaka. Kuhadiahkan senyuman terbaikku untuknya, yang hanya dibalas dengan ekspresi stoic, pertanda ada sesuatu yang membebani pikirannya.

“Kau benci hujan karena kau menyadari bahwasanya ia tak hanya singgah dan menyapa taman melatimu, atau kau benci hujan karena kau tak akan pernah mampu untuk menahannya agar ia tak menyapa taman-taman lain?“ aku menanti jawaban gadis itu dalam posisiku yang bersidekap. Tempias hujan serasa menelusup ke setiap persendianku. Aku tahu persis ke arah mana gadis itu menuntunku dalam pembicaraan kami. Riak kecil bermain di mata indahnya.

“Entahlah. Mungkin karena aku sendiri telah terlalu lelah untuk memahami hujan. Aku merasa letih untuk mengerti dirinya sebaik yang engkau lakukan,“ jawaban pasrah serta memelas, batinku. Jawaban yang tidak kusangka akan kudengar dari bibirnya yang biasanya lancar melafalkan berbagai jenis obat-obatan beserta fungsinya bagi kesehatan.

Gadis itu – yang sejak semula duduk di kursi kayu di hadapanku – akhirnya beranjak, dan memilih untuk duduk manis di atas kasurku yang dilapisi seprai hijau pucuk teh, warna kesukaanku.

“Kau mengira aku mengerti hujan dengan baik? Kau salah kalau beranggapan demikian. Aku sama tidak mengertinya denganmu. Aku tak pernah mampu meraba ataupun membaca ke arah mana akhirnya hujan itu akan menetes. Kurasa meski sedikit kau telah mengetahui bahwa kisahku dan hujan tak berujung manis. Aku memberikan hujan itu pilihan, antara tinggal di istana rumputku, atau berpaling pada taman bunga lain yang menurutnya lebih pantas untuk ia singgahi. Dan ia memilih yang kedua – ia meninggalkanku – lalu berpaling padamu. Tapi tak lantas juga karena itu maka serta merta aku membenci hujan. Aku perempuan hujan, Ratih. Hujan semusim yang sekedar datang lalu pergi tak akan membuatku membenci hujan-hujan yang lain,” lagi-lagi aku tersenyum, seraya membalikkan badan, kembali memandangi panah-panah bening yang berlomba mencipta tanda pada genangan-genangan air yang terlebih dahulu menjelma telaga-telaga kecil. Kuhulurkan sepasang tanganku melewati besi-besi teralis, membiarkan titik-titik air dari langit itu membasahi tanganku dan menghadirkan sensasi dingin yang mengalir ke seluruh pembuluh darah.

“Kau memaafkannya begitu saja setelah hujan itu berpaling darimu, Aya? Sungguh, aku tak tahu apakah harus memujimu, atau menertawakan kebodohanmu!“ kecamnya. Aku tertawa pelan. Ia orang kesekian yang melontarkan pendapat seperti itu, juga orang kesekian yang kuacuhkan ketika pendapat senada terlontar.

“Dan aku sungguh tak membutuhkan tertawaan, apatah lagi pujianmu. Memangnya kau berharap agar selamanya aku membenci hujan, sama seperti yang kau lakukan? Untuk apa? Apa yang kau harap dari memupuk keeping-keping benci di hati? Asal kau tahu saja, dia bukan hujan pertama yang sekedar singgah dan pergi sambil menjanjikan pelangi padaku. Ia hanyalah hujan kesekian yang harus kuakui, singgah lebih lama dari yang lain lalu pergi. Bukankah pada akhirnya juga akan begitu? Semuanya hanya masalah waktu, kan?“ aku menghela nafas panjang, dengan sedikit kejutan. Ajaib, aku tak menemukan gurat luka barang sedikitpun ketika berbicara tentang hujan yang sama padanya.

“Tapi apa yang telah hujan lakukan itu benar-benar tak bisa dimaafkan, Aya!“ sungutnya. Aku tergelak.

“Kau lupa? Hujanmu pernah menjadi hujanku, bahkan pernah menjadi hujan bagi ke-empat sahabat baikku. Hujanmu adalah hujan yang sama, yang selalu menjanjikan semburat pelangi setelah kepergiannya. Hujan yang tak pernah mampu untuk kita perangkap di dalam kendi lalu menjadikannya azimat. Hujan yang pada akhirnya membuatku melahirkan anak-anak gerimis dari pelupuk mataku. Tapi berhakkah aku membenci hujanmu? Aku memaafkannya, berbesar hati menghapus jejak-jejaknya seperti ia dengan mudahnya menghapus aku dari hatinya.”

“Hujan itu tak pernah melupakanmu, Aya.”

“Oh ya? Sungguh kejutan luar biasa,“ sahutku, sarkastis. Mataku berputar, menunjukkan ekspresi keterkejutan yang sungguh merupakan sebuah kepura-puraan.

“Aku minta maaf!“

“Untuk apa?“

“Aku minta maaf karena sesungguhnya akulah yang merebut hujanmu, Aya. Aku minta maaf karena aku yang telah membujuk hujanmu agar meninggalkanmu dan berpaling padaku. Aku yang tidak pernah mendengarkanmu dan ceritera tentang hujan, aku yang membencimu dengan rasa cemburu tak beralasan. Aku yang bahkan terus-terusan menyakitimu dengan segala perlakuanku terhadap hujan. Aku benar-benar menyesalinya. Aku baru merasakan semuanya ketika hujanku pada akhirnya juga memutuskan untuk meninggalkanku,” gerimis menyemburat dari pelupuk mata gadis itu.

“Tak perlu meminta maaf padaku, Ratih. Seperti yang telah kukatakan, aku tak akan menyimpan dendam hanya karena hujan semusim yang datang lalu pergi. Kurasa kau juga perlu memaafkan hujanmu, terlebih lagi memaafkan dirimu sendiri karena kau merasa telah menyakitiku. Lihat ini!“ kutunjukkan tetes hujan yang bermain riang di telapak tangan kiriku. “Hujan kali ini tak menyakitiku, kan?“ gadis itu mengangguk.

Jangan pernah membenci hujan hanya karena kau tak mampu meraba ke arah mana ia akan singgah, kawan. Seperti layaknya laju airmata yang tak pernah merencanakan bila waktunya ia akan jatuh, begitupun dengan hujan…

*************

Sobat Nay, aih, aku seperti memanggil namaku sendiri, namun dalam versi yang laki-laki. Hahaha. Pertama, aku ingin mengucapkan terima kasih atas undangan serta ajakanmu untuk mampir di sini. Terus terang, aku merasa minder sendiri, dengan kemampuan yang tak ada apa-apanya, aku merasa belum cukup pantas mencoret-coret dindingmu ini. Tapi kucoba saja, sebab aku tak akan pernah tahu akan kemampuanku bila tak mencobanya, kan? Sekali lagi terima kasih atas kesempatannya. Susah payah aku menemukan jalan yang menghubungkan dengan pintu rumahmu. Harus mendaki gunung menuruni lembah dulu. Ah, berlebihannya aku.

Apa yang kutulis di atas, adalah curhatan seorang teman. Aku kebanyakan memang menulis berdasarkan pengalaman pribadi teman-teman dekatku yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebenarnya. Tapi narsisnya, aku selalu menjadikan diriku sebagai tokoh utama dalam ceritaku sendiri, hehehe. Di sini dan calon tulisan-tulisanku yang lain, aku akan menyebut diriku sebagai Aya, meski pada kenyataannya aku juga dipanggil Nay, tapi mau gimana lagi, aku merasa tak enak menjadi Nay yang kedua *plaaakkk…

Akhir kata, inilah coretan sederhanaku yang perdana di halaman hijaumu ini, Sobat Nay. Terserah mau diapakan, aku pasrah saja. Oh iya, salam hangat dan salam kenal untuk semua yang telah lebih dulu berada di sini ya? Sambutlah aku, anak baru yang tak patut lagi disebut anak-anak, hehehe…

Salam takzim,

Naraya Alexis Liani