By Olief, from Rian Al-Vindra

Selepas kepergianmu, aku masih kerap kali berkata pada senja.
Sendiri, tentu saja.

1/
Masih hangat di panca inderaku, ketika engkau mengucapkan kalimat yang tak pernah lelah engkau ucapkan, tentang hakikat kehidupan yang kita jalani, ketika aku mencium tanganmu selepas kita bertemu sang pemberi hidup.
“Kita hanya singgah sebentar Bi, tujuannya hanya negeri keabadian yang telah Tuhan janjikan.”
Lalu kita terdiam menerjemahkan kedalaman hati kita masing-masing, mengais debu yang selalu mencoba membuat diri kita menjadi hitam.

2/
Tatapan sendu yang selalu memberikan keteduhan, senyum halus yang tak lelah memberi ketenangan.
“Yang benar itu benar, yang salah itu salah, tak ada pengecualian, dan tak ada yang bisa berdiri di antara keduanya. Dan tentang cinta ini, tak ada yang salah Bi, hanya saja terkadang cara kita merealisasikannya yang membuat semuanya menjadi salah.”
Engkau membelai rambutku lembut ketika keluh ini telah sampai pada kata di mana aku mulai menuntut Tuhan. Pelan, kau memberikan pemahaman tentang lakon kehidupan yang kita jalani, meski aku tahu acapkali hatimu sendiri berteriak lirih pada takdir yang kita terima di setiap sujud pada sepertiga malam yang telah dijanjikan, tapi kau tetap tulus tersenyum.

3/
Dan Tuhan benar-benar menyayangimu, mengalahkan rasa sayang yang mengkristal di hatiku, tanpa terlebih dahulu melihatku yang telah terlanjur menggantungkan diri pada hadirmu. Ia menjemputmu, bersama dengan membiasnya embun yang masih bergantung di kaki pagi, di hari paling baik untuk sebuah kepulangan, setelah bertahun berjuang bertahan dengan satu ginjal, engkau akhirnya benar-benar pergi.
“Jadilah laki-laki baik Bi, jangan pernah mengeluh, Tuhan tak pernah membenci kita selama kita bisa berjalan pada jalan yang telah ia benarkan, andaipun kita kalah lantas tersungkur, bangkitlah! Teruskan perjalanan, ia tak akan pernah melihat hasil yang akan kita dapat, tapi ia selalu menilai usaha yang kita lakukan. Aku mencintaimu, dan aku yakin Allah tak pernah salah meletakan rasa cinta pada hati setiap umat-Nya. Aku mencintaimu karena Allah.”

4/
Sepi.
Dingin.
Kosong.
Sajak ini seperti kehilangan kata.
Pagi, kini seperti kehilangan kabut.
Dan awan seperti kehilangan angin.
Mendung datang terlalu cepat namun tak lantas cepat menurunkan hujan, hanya menyisakan tanah gersang yang tertunduk menekur waktu. Berharap air akan segera membuatnya basah. Seperti aku, yang terus meniti waktu menanti kereta senja yang akan membawaku ke perjalanan abadi, bertemu denganmu dalam semua kebaikan.

Sumsel, Senja Maret 2013