CUAP2 NAYAKA

Salam.

The Black Sheep kupost untuk mengisi jeda panjang di blog ini sebelum aku bisa menulis sebuah postingan baru. Kali ini aku tak sendiri, ada dua dara jelita yang mengapitku (well, satunya mungkin enggak dara lagi, mengingat statusnya saat ini sedang berbadan dua, tentu saja, itu bukan ulahku tapi hasil gotongroyong-nya sendiri dengan suaminya yang kabarnya ganteng–menurut dia sendiri–itu). Ada tiga short story yang akan kalian temukan (jika kalian cukup baik hati untuk mau membacanya) dalam satu post yang juga short ini, masing-masing ditulis oleh Yuuki a.k.a Shirayuki Sakuya, d’Rythem24 dan aku sendiri.

Udah, itu aja. Semoga kalian menikmati membaca The Black Sheep seperti aku dan dara-dara jelita temanku itu menikmati ketika menulisnya.

 

Wassalam

N.A.G

##############################################

 

Yang_Bahkan_Namanya_Tak_Kutahu

 

Aku meninggalkan pantai yang masih menderu dan gulungan ombak saat senja mulai merapat, kembali menyusuri jalan setapak yang sempit menuju daratan di seberang sana, ya… kapal yang akan kutumpangi mungkin sedang menunggu.

Aku tak begitu memedulikan ramainya rombongan lain yang tengah bercengkerama, hanya fokus pada hijaunya daun-daun di sepanjang jalan ini, hingga mataku menangkapnya. kami hanya berpandangan sebentar, atau lebih tepatnya aku yang memandangnya, pemuda berkulit putih itu memakai kacamata hitam, berkemeja biru layaknya anak pantai, menenteng tas ranselnya yang tampak berat, namun itu hanya sekilas, hanya sebentar, karena dia kembali berbicara dengan teman-temannya, sesekali tertawa dan menampakan behel yang dipakainya. Saat itu aku hanya berpikir dia tampan, dan mirip sekali dengan karakter di film yang direkomendasikan oleh salah seorang sahabatku. Hahaha… imajinasiku.

Dan kemudian, dia menoleh ke arahku, lama hingga membuatku terpaksa mengalihkan pandanganku.

hei… aku tak merona layaknya anak-anak sekolah yang dilanda cinta pandangan pertama, kan?

Lalu tak pernah ada kata, tak pernah ada kebetulan yang berujung perkenalan seperti yang ada di buku-buku yang aku baca. Dia menghilang dan lenyap bersama kapal yang lebih dahulu membawanya pergi.

Hingga aku sampai kembali di daratan yang sama… aku tak melihat sosoknya lagi.

Lalu ketika angin berhembus pelan senja itu, ketika deru ombak pantai masih samar terdengar di telingaku, aku menyadari sesuatu…

Aku Jatuh Cinta.

Aku jatuh cinta, pada seseorang yang kutemui dalam sekejap kemudian menghilang tanpa meninggalkan jejak, seseorang yang tak kutahu namanya, bahkan warna matanya, seseorang yang kupandang sekilas kemudian dia balas memandangku, seseorang yang tak kutahu dia ada di mana sekarang…

Ya Tuhanku….

.

.

Kurebahkan tubuhku yang penat dan lelah ini, memejamkan mataku sejenak dan berharap masih kuingat jelas bayangannya.

Tentang dia, pemuda yang tak kutahu keberadaannya, yang bahkan tak kutahu namanya…

Jika Dee benar, dan aku memiliki radar, mungkinkah aku akan menemukannya di antara milyaran manusia di dunia?

Rasanya saat ini hanya campur tangan Tuhan saja yang bisa membuatnya nyata.

Meski aku kembali ke kehidupanku pada esok harinya, aku masih tak bisa melupakan pemuda itu.

Aneh, bukan?

Jatuh Cinta seperti apa ini? Bagaimana bisa aku menyukai seseorang yang tak kutahu siapa?

Ya Tuhan…

Berikanlah aku sedikit keajaiban, bukan cuma sekedar kebetulan

Ijinkan takdirMu, menuntunku padanya

Ijinkan aku, untuk menemukannya…

Dan hingga senja kembali datang

Aku masih tak tahu siapa dia

Apakah doaku, terlalu lirih dan tak terdengar?

Malam itu, aku menyusuri instagram milikku, meng-upload hasil gambar yang sempat kuabadikan. Pantai, laut, pasir, karang, ombak, dan perahu…

tapi tak ada pemuda itu…

Hehe… harusnya kuabadikan juga dia, ya? lalu ‘kan kutanya pada seluruh dunia. Hei, apakah kau mengenalnya?

Kemudian, keajaiban itu ada…

Nafasku tercekat, bahkan tanganku sedikit gemetar. Sesekali kubetulkan letak kacamataku, mungkin saja lensa minus ini mulai mempermainkan pandanganku.

Tapi, tidak.

Sebab aku melihat lagi sosoknya.

Aku kini menatap kembali pemuda berbehel itu.

Aku…

Menemukannya…

.

.

Ya Aku menemukannya…

Foto dia dan teman-temannya yang muncul di sosial media, karena hashtag kami yang sama. Nama pantai itu…

Senyum yang sama, wajah yang sama, kacamata yang sama, hahaha… tentu saja aku langsung mengenalinya.

Sebab belum hilang memori ini, belum lekang ingatan tentangnya…

Dan akhirnya… aku tahu nama pemuda itu…

Sebuah nama yang kemudian membuatku mengikutinya.

Nama yang membuatku mengetahui siapa dia

Nama yang sederhana, yang membuatku mensyukuri, betapa ajaib hidup ini…

Entah ini takdir, keajaiban atau sekedar kebetulan, bisa menyapanya adalah hal yang berharga untukku.

Sebab, aku pernah jatuh cinta.

Jatuh cinta pada dia yang tak kukenal dan tak mengenalku.

Dan meskipun kenyataan membuatku kembali tersadar.

Aku tetap mensyukuri semua perjalanan waktu ini.

Membuatku kembali menatap segala sesuatu dari sudut pandang yang beragam.

Terimakasih Tuhan, atas perasaan ini…

Terimakasih atas ingatan yang berharga ini…

Terimakasih, atas kebetulan yang menyenangkan, takdir serta keajaibanMu

Dan untukmu…

Terimakasih telah menjadi salah satu inspirasi dalam perjalanan hidupku.

Ada campur tangan takdir dan sedikit sentuhan keajaiban, karena akhirnya menemukanmu, baik setelah berusaha mencari ataupun tidak sengaja, aku tahu rasanya menyenangkan…

 

-OWARI-

 

 

black_sheep

 

Percayalah, hal terakhir yang kau inginkan di dunia ini adalah dianggap asing oleh orang-orang yang kau cintai sejak dirimu bisa mencintai.

Tujuh tahun lalu, aku adalah duri tajam di antara lembut serat permadani. Aku adalah hitam arang di antara putih cemerlang porselen. Aku adalah benih kotor di antara saudara-saudaraku yang jernih bersih. Aku adalah aib dan malu. Mulai percaya jika diriku dilahirkan sekaligus ditakdirkan untuk membawa tanda itu sampai akhir napasku nanti.

Sekarang pun masih begitu. Bedanya, aku tak lagi berada di antara serat lembut permadani, tidak pula menyaru di antara porselen cemerlang, juga bukan membaur bersama saudara-saudaraku yang jernih bersih. Aku berada di kawanan duri, dalam tumpukan hitam jelaga arang, dan tetap menjadi benih kotor itu. Sementara aib dan malu kian membentuk tumpukan tinggi.

Tujuh tahun lalu, usiaku tujuh belas tahun ketika untuk pertama kalinya aku menyadari jika perasaan ganjil yang kurasakan terhadap adik laki-laki bungsu dalam keluargaku adalah nafsu.

Ada iblis mahajahat yang mendekam di dalam diriku. Begitu jahatnya hingga kebaikan malaikat tak kuasa menyelamatkanku. Aku sudah sepenuhnya tak terselamatkan ketika melucuti pakaianku sendiri dan berbaring bersama anak laki-laki bungsu ayahku dini hari itu. Memaksakan diriku padanya. Menurutkan kehendakku terhadapnya. Memuaskan nafsuku atasnya.

Mengenangnya sekarang membuatku membenci diriku di satu sisi. Sedang di sisi berseberangan, yang memonopoli sebagian besar diriku, di mana tanduk iblis memenangiku dan sayap malaikat tercerabut, kurasakan kegembiraan aneh karena menyadari fakta bahwa aku pernah berada begitu dekat dan pernah menyentuh begitu intim sosok manis menggoda pertama yang menjadi pusat segala khayal jahanam masa beliaku.

Percayalah, hal terakhir yang ingin kau dapatkan dalam hidupmu yang singkat adalah dianggap asing oleh orang-orang yang kau cintai sejak dirimu bisa mencintai.

Murka ayahku menjadikan tanahnya haram untuk kupijak hingga mentari terpadam. Air mata ibuku mustahil mengalir mundur dan tersimpan kembali di bawah kelopak matanya, dan tetap di situ untuk selamanya, untuk diperlihatkan bagi sebab yang jauh berbeda.

Pagi itu gerimis baru saja turun ketika kuputuskan pandanganku dengan tatapan putra bungsu ibuku yang basah. Hari itu, aku menjadi sulung yang terusir. Hari itu, aku menghancurkan kebanggaan ayahku. Hari itu, aku menghancurkan hati ibuku dan hati saudara perempuanku. Lebih dari itu, aku menghancurkan hidup putra bungsu ibuku.

Pagi itu gerimis belum berganti hujan ketika kutinggalkan mereka di belakangku. Saat aku berbalik untuk menyongsong gerbang, aku meragu bahwa ada sedikit perasaan lain yang bercampur bersama nafsu di dalam diriku selama kurun waktu sebelum hari itu. Perasaan yang selama itu tidak kusadari dan baru kupikirkan ketika kupandangi putra bungsu ibuku dengan mataku yang juga basah. Rasa itu tak ubahnya sepintal benang halus di antara onggokan tali rami, nyaris tak terlihat, tapi ia ada di sana. Aku meragu, bahwa selain nafsu, aku juga punya cinta. Itukah yang membuat tiap langkah yang kubuat ketika menyongsong gerbang di pagi bergerimis itu terasa bagai menginjak bara?

.

.

“Pulanglah, Kak…”

Aku bergeming. Asap meliuk-liuk meninggalkan ujung rokokku yang tidak sepenuh hati kunyalakan. Aku hanya mencari kesibukan untuk mengabaikannya, meski begitu, sebuah pertanyaan besar terus saja bergema di dalam kepalaku. Bagaimana ia bisa mengenali dan menemukanku di kota sebesar ini setelah tujuh tahun yang begitu asing dan gelap di belakang kami terlampaui?

“Papa sakit keras…”

Aku tahu ia sedang berusaha menjadi laki-laki tegar dengan tidak menangis. Kusadari jika aku juga sedang berbuat hal yang sama dengannya. Membohongi diri sendiri bahwa laki-laki dan air mata adalah cacat cela memalukan. Bertahan untuk tidak berair mata ketika ia menerjang dan memelukku belasan menit lalu adalah keperihan lain yang mendera egoku. Ini adikku, putra bungsu ibuku yang pernah kuhancurkan. Ia, masih menganggap monster ini kakaknya.

“Pulanglah bersamaku, Kak…”

Sekali lagi, ia merayu. Kuludah rokokku ke tanah dan kupijak dengan sepatuku. Untuk pertama kalinya sejak belasan menit lalu, kuhujamkan pandanganku terang-terangan ke wajahnya. Di balik rahangnya yang tegas dan bulu-bulu tipis di sekitar wajahnya, aku masih bisa menemukan adik laki-lakiku yang dulu. Sosok gagah sembilan belas tahun yang sekarang berdiri di hadapanku adalah sosok manis yang sama yang menimbulkan keraguan hatiku di hari bergerimis tujuh tahun lalu.

Saat kugelengkan kepalaku, kudapati di saat bersamaan matanya juga berkaca-kaca.

“Ikutlah pulang denganku, Kak. Aku sungguh memohon…”

Sekali lagi aku menggeleng. Dan ia tak sanggup lagi berbohong terhadap tangisnya.

“Domba hitam akan selalu jadi domba hitam sampai kapanpun…” Aku ingin memanggillnya ‘Dik’, namun lidahku tak bisa melafazkannya. Kalimatku terpenggal begitu saja. “Tempatku bukan bersama kalian, tapi di sana…”

Ia mengarahkan pandangannya ke pintu klub malam di ujung telunjukku. Klub malam yang siap kumasuki belasan menit lalu andai saja ia tidak memunculkan diri. Di depan sana, aku sempat mengenali beberapa wanita sumber nafkahku yang baru saja tiba dan berjalan anggun menuju pintu. Seorang pria berperut buncit yang sempat mengosongkan dompetnya untukku seminggu lalu baru saja keluar dengan merangkul pria muda yang juga kukenal.

Kupandangi sosok laki-laki―yang ingin kupanggil ‘Dik’ seluwes ia menyapaku ‘Kak’―yang masih bergeming di depanku dengan perasaan terenyuh. Sebelum pergi, aku ingin memeluknya, menepuk punggungnya dan mengatakan kalau aku menyayanginya. Tapi yang bisa kulakukan sejauh ini hanyalah berdiri saja menatapnya.

Ia mengesat matanya dengan gerakan buru-buru. “Mungkin ini akan jadi kali terakhir buat Papa melihat putra sulungnya, tidakkah ada kelembutan hati yang tersisa untuk pria yang telah memberi kita kehidupan?”

Aku terdiam. Terlintas untuk menyibukkan diriku dengan rokok kembali. Tapi pemantikku tak mau menyala, membuatku terlihat bodoh dengan rokok tanpa asap di antara bibirku.

“Aku berjanji pada mereka untuk membawamu pulang.”

“Kau tak seharusnya berjanji demikian.” Bibirku bergetar dan rokok yang tidak berhasil kunyalakan terlepas ke tanah. “Kau tak seharusnya menjanjikan sesuatu yang tidak yakin bisa kau tepati.”

Ia terdiam. Dan sesaat kupikir bahwa inilah titik akhirnya, ia akan menyerah dan membiarkanku menyongsong kehidupanku di balik pintu klub. Namun perkiraanku salah.

“Seperti halnya Papa dan Mama, aku juga sudah memaafkanmu sejak lama, Kak… dan kuharap kau juga bisa memaafkan dirimu sendiri…”

Ketika lengannya menjangkau pundakku dan meremasnya, saat itulah aku mulai menangis. Lewat tangannya di bahuku, kudapati jika cinta itu kini hadir dalam bentuk yang lain. Cinta yang lebih dewasa dan tulus.

Saat ia menggandeng lenganku dan dibawa berjalan, aku tahu bahwa diriku sedang berusaha membantunya menepati janjinya, pada orang-orang yang pernah kuhancurkan.

 

-FIN-

 

 

Malam_Terakhir

 

“Jadi, ini malam terakhir kita, ya?”

Aku meringis tertahan mendengar tanya dari suara paraunya. Tanganku yang merangkul pundaknya refleks mengerat, lalu aku mengusap-usap lembut lengannya yang menjadi tempat berlabuhnya jemariku.

“Aku berharap, aku bisa liat bintang jatuh malam ini,” bisiknya ke telingaku. Hembus nafasnya yang hangat menerpa leherku, membuat bulu kudukku berdiri dikarenakan takut. Takut bila ternyata aku tidak mampu merasakan hembus nafas hangatnya lagi untuk esok hari dan ke depannya. Takut tentang kenyataan yang akan segera mengakhiri ikatan di antara kami. “Kamu tau gak kenapa aku pingin liat bintang jatuh malam ini?” tanyanya seraya menempatkan satu tangannya di daguku, ibu jarinya bergerak laun di sana.

Aku mengerlingnya, mempertemukan mataku dengan sorot sayu dari matanya. Aku meraih tangannya yang ada di daguku, membawanya ke depan bibirku dan mengecupnya lama-lama. Menyalurkan kasih sayangku untuknya, memberitahunya betapa aku teramat mencintainya. Aku berusaha menampakkan senyum, kemudian menggeleng. “Emangnya kenapa kamu mau liat bintang jatuh?” balasku menanyainya.

Sosok terkasihku ini memejamkan mata, gurat senyuman di paras indahnya begitu memikatku. Membuatku semakin tak ingin esok cepat datang, menciptakan kalut yang kian membelengguku.

“Aku pingin buat permintaan,” lirihnya menjawabku. Sudut mataku dapat melihatnya yang kini tengah mengigit bibirnya yang gemetaran. “Ka-kamu tau gak aku mau buat permintaan apa?” sekali lagi dia bertanya, parau suaranya bertambah. Membuahkan sakit yang seketika menikam dadaku.

Aku melihat ke atas langit malam berbintang, bulan yang hampir penuh memancarkan cahayanya, menerangi kami yang terduduk di keremangan. Aku menghela nafasku, sebelum balas menanyainya. “Emangnya kamu mau buat permintaan apa ke bintang jatuh?”

Sosok terkasihku menangkup wajahku, menatapku lekat dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca membiaskan luka serta harapan besarnya. “Aku mau… aku mau jadi perempuan,” aku tercekat mengetahui jawaban yang dilontarkannya. “supaya kita gak perlu pisah, biar aku dan kamu tetap sama-sama dan akulah yang akan menjadi mempelai kamu di pelaminan besok,” setelah berucap demikian, setetes air matanya jatuh. Wajahnya langsung memburam dalam pandanganku yang sedekat ini dengannya, mataku terasa panas, dan tahu-tahu pipiku telah basah. “Aku mau… kita bahagia selamanya.” lirih suaranya bergetar dan hampir tak terdengar olehku.

Aku menariknya ke dalam pelukanku. Menepuk-nepuk bahunya yang bergetar, mencoba menenangkan suaranya yang terisak-isak dan membisikkan kata cintaku untuknya berulang-ulang.

“Kamu janji sama aku, meskipun kita gak bahagia sama-sama, kamu harus tetap bisa bahagia di kehidupan baru kamu. Ya?”

Aku mengangguk lamat-lamat, mengatakan tanpa lisan padanya bahwa aku bersedia memenuhi pintanya yang lain itu. Bahwa aku akan bersungguh-sungguh menjalani kehidupanku yang baru tanpa keterikatanku bersamanya. Dapat aku rasakan hembus nafasnya yang lega membelai beberapa helai rambutku. Dia menarik diri, satu tangannya menyapu pipiku, senyuman tulus tersungging di bibirnya.

Tak ada lagi kata terucap yang terlontar dari mulut kami malam itu, namun kedua belah bibir kami saling menyatu. Berpagut dalam diam, mengecap asin air mata yang membaur basahi pipi, begitu erat merengkuh tubuh masing-masing. Dia menerima satu kecupanku di keningnya, membalas senyumanku padanya, mengatakan melalui mataku jika aku mencintainya, kemudian dia hanya mengangguk. Tanda memahami semua maksud yang tak sanggup aku sampaikan secara langsung itu.

Tanganku dan tangannya saling melepaskan, namun tutur selamat tinggal tidak kami saling suarakan. Sebab kami sama-sama tahu, kalau itu tidak diperlukan.

Aku membalikkan tubuhku tanpa ada niat untuk menoleh ke belakang, karena aku yakin kalau dia pun berlaku demikian.

Aku menengadah melihat langit, menghitung bintang dalam diam disertai tetes-tetes air mataku yang jatuh untuk kesekian kalinya. Berusaha melupakan waktu yang terus bergulir, detik demi detik membawaku menuju hari esok yang sama sekali tidak aku inginkan, namun tetap mesti aku hadapi.

Malam terakhirku bersamanya aku janjikan pada diriku sendiri untuk tidak mungkin pernah aku lupakan. Seperti janjiku padanya tentang aku yang akan tetap bahagia meskipun kami tak lagi bersama.

Tersenyum dengan mata terpejam, aku banyak-banyak menghirup sejuk udara yang mendinginkan rongga di dadaku yang terasa menyempit, membuatnya mengembang perlahan-lahan.

“Selamat malam, cintaku. Terima kasih atas segala bahagia yang pernah kau berikan.”

Udara di sekelilingku seolah memperdengarkan bisik lirih darinya yang membalas ucapanku barusan, membuahkan senyuman di bibirku pada penghujung malam yang menjadi pemisah kami.

 

-END-