dibawah-hujan3

Story by Akhmad Abha

 

Aku membenci hujan dan juga menyukainya. Layaknya api yang  membenci air yang mampu memadamkannya, dan juga layaknya api yang menyukai air ketika nafsu membakarnya membara.

———

Hujan turun beberapa menit yang lalu, tanpa tanda sebelumnya. Tidak ada mendung, bahkan langit terlihat cerah. Ramalan cuaca yang aku tonton tadi pagi seratus persen salah.

Hujan sudah membasahi tubuhku, membuatnya menggigil dalam dingin. Namun keinginan untuk meneduh tidak terbesit dalam benakku. Aku terlalu membenci hujan sampai-sampai menyukainya. Membenci karena hujan terlalu peka dengan hatiku yang baru saja melihat kekasih hati bermesraan dengan orang lain yang bukan aku. Menyukai karena hujan telah menyamarkan air mataku yang mengalir.

***

Puluhan panggilan dan pesan terpampang di layar handphoneku. Sudah dua hari ini aku mengabaikkan kekasihku, Argha. Sepertinya ada yang salah, bukan kekasih tetapi mantan. Walau kata putus belum terucap dariku. Tapi hatiku tak seperti mata yang mampu menerima lapang dada. Terlalu sakit sampai hatiku membenci mata yang terlalu baik. Terlalu baik untuk menangisi pria seperti dia.

[Desta, jangan abaikan aku selama ini. Satu menit saja kamu mengabaikanku, hatiku sakit. Apalagi ini sudah dua hari. Apa kamu ingin membunuhku???]

Rasanya aku ingin tertawa keras di wajahnya setelah membaca pesan itu.

‘Membunuhmu? Bahkan aku terlalu baik untuk membunuhmu. Harusnya aku mencincangmu!’

Ingin saja aku membalasnya seperti itu, tapi lagi-lagi hatiku terlalu baik. Terlalu baik untuk sekadar membalas pesannya.

[Desta, aku merindukanmu. Merindu untuk memelukmu. Membaui tubuhmu. Menghangatkan hatiku yang beku oleh dingin hujan]

Lagi-lagi aku ingin tertawa. Ingin saja aku membalasnya dengan kalimat ‘Apa pria dalam pelukanmu yang kulihat dua hari lalu tidak mampu menghangatkanmu, Gha? Mintalah kekasih barumu itu untuk menghangatkanmu. Kalau dia tidak mampu, kenapa kamu berpaling dariku.’

Tapi kupikir aku terlalu baik untuk membalasnya. Lagi-lagi terlalu baik.

[Aku ada di depan kamarmu. Keluarlah. Aku tau kamu di dalam]

Apa dia pikir bisa menarik diriku dalam peluknya lagi hanya karena dia datang ke rumahku? Jelas itu pemikiran yang salah. Aku akan memutuskannya. Tanpa susah-susah untuk mengajaknya bertemu, hemat waktu untuk pria sialan seperti dia

Krekkk…

Aku membuka pintu. Wajahnya terlihat senang melihatku yang sudah dua hari ini mengabaikannya. Tidak terlihat sesal di wajahnya itu.

“Apa kamu ingin membunuhku, Des?” kalimat yang tadi membuatku ingin tertawa sekarang diucapkannya. Tapi aku terlalu baik untuk tertawa di depannya.

“Masuk…” aku menghiraukan pertanyaanya itu. Membukakan pintu lebih lebar untuknya.

“Jangan diamkan aku seperti ini, Des! Kamu benar-benar membuatku bingung,” ujarnya memegang tanganku. Mencoba memelukku.

Aku menghindari pelukannya, dan memilih duduk di tepi ranjang.

“Duduk…”

Lagi-lagi aku malas menjawab.

“Des, aku mohon jangan abaikan aku seperti ini,”

Memangnya dia pikir siapa yang membuatku mengabaikannya? Apa dia pikir aku mengabaikannya tanpa alasan? Aku selalu punya alasan untuk mengabaikannya, tapi dia? Apa alasan dia menduakanku? Dan sekarang dengan wajah memelas dia memohon padaku? Wajah memelasnya membuatku mual.

“Aku mau kita putus,” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Tanpa aku komando. Bibir ini seperti mataku, yang tidak bisa menerima pengkhianatannya. Tapi hatiku? Sakit bukan kepalang. Dia terlihat shock.

“Kamu bilang apa, Des? Putus? Semudah itukah bibir manismu mengucap kata putus? Apa alasanmu memutuskanku?”

Matanya berkaca-kaca. Seperti kebahagiaannya baru saja dihisap oleh dementor dalam film fantasi.

“Kamu tau alasannya, Gha. Kamu tau itu. Kamu hanya pura-pura tidak tau. Apa aku harus mengatakan kalau aku melihatmu berpelukan dengan pria lain di belakangku?”

Mataku mulai berkaca-kaca setelah berucap seperti itu. Sedang dia? Terlihat bertambah shock.

“Aku punya alasan untuk itu, Des…” desisnya, “Aku…”

“Dan aku lebih punya alasan untuk memutuskanmu saat itu juga. Saat aku melihat kalian berpelukkan. Tapi aku tidak. Aku masih harus berpikir. Dan dua hari ini, pikiranku berkata ‘iya’. Iya untuk memutuskanmu.”

Aku memotong kalimatnya. Tidak mau mendengar lanjutan alasannya.

“Tapi, Des…”

“Cukup! Sekarang keluar,”

Kupotong cepat kalimatnya. Tanganku bergerak mengusirnya. Mendorongnya keluar dari kamar.

“Des, jangan seperti ini…” desis samar terdengar dari luar.

Di balik pintu aku mengadu

Pada hati yang pilu, di derap rindu

Canda tawamu tak ‘kan lagi bersamaku

Rindu menjadi debu

Lebur bersama pengkhianatanmu

Aku meragu dalam tangisku…

***

Sudah dua hari ini Desta mengabaikanku. Semua panggilan telfonku tidak diangkat. Pun puluhan pesanku tak di balas. Hati ini semakin merindu. Apa yang aku lakukan telah menyakitinya? Apa aku termasuk golongan pria yang mengkhianati kekasihnya? Jika iya, apa yang akan terjadi padaku? Pada cinta kami?

[Desta, jangan abaikan aku selama ini. Satu menit saja kamu mengabaikanku, hatiku sakit. Apalagi ini sudah dua hari. Apa kamu ingin membunuhku???]

Aku mengiriminya pesan. Berharap mendapat respon darinya. Tapi puluhan menit berlalu tanpa balasan. Sepertinya dia benar-benar marah.

[Desta, aku merindukanmu. Merindu untuk memelukmu. Membaui tubuhmu. Menghangatkan hatiku yang beku oleh dingin hujan]

Sekali lagi aku mengiriminya pesan. Berharap mendapat respon kali ini, walau hanya balasan kosong tanda dia tidak mengabaikanku. Tapi seperti halnya pesanku yang pertama, pesanku tak mendapat respon.

Aku beridiri mondar-mandir di dalam kamar. Perasaanku kacau. Hatiku sakit tidak mendapat balasan pesan darinya.

‘Jika hatiku sesakit ini, bagaimana dengan Desta?’

Aku menanyai diriku sendiri, dan menjawabnya sendiri. Seperti orang gila di pinggiran jalan. Aku memang gila. Gila merencanakan hal seperti ini. Dengan sengaja aku membuatnya menjauhiku, bukan karena aku tidak mencintainya. Tentu. Karena aku sangat mencintainya. Dan dengan cara gila ini aku ingin membuktikan cinta. Bahwa kami tidak akan terpisah. Tidak sebelum kematian menhampiri salah satu di antara kami.

*

Aku melengos. Menarik nafas panjang sebelum keberanian datang menyemangatiku. Kutuliskan pesan untuknya. Sekali lagi.

[Aku ada di depan kamarmu. Keluarlah. Aku tau kamu di dalam]

Krekkk…

Pintu terbuka setelah beberapa menit. Desta terlihat begitu menawan malam ini. Walaupun hatiku sudah menawannya, tapi aku tetap takut. Takut jika jeruji hatiku tak mampu menawanya lebih lama lagi.

Dia melebarkan pintu untukku, membiarkanku masuk.

Rindu ini menderaku. Seperti halnya Adam yang merindu surga— tempatnya tinggal sebelum terusir. Pun layaknya Hawa yang merindu Adam yang terpisah jarak nan jauh. Benar-benar rindu yang menggelora.

Aku ingin memeluknya. Membaui harum tubuhnya, tapi dia menghindar. Tidak ingin ada secuil jamahku di dirinya. Aku kecewa. Seperti halnya dia yang kecewa padaku. Pada kelakuanku dua hari lalu, yang memang kusengaja.

“Aku mau kita putus…” ujarnya tanpa beban. Begitu santai. Membuatku shock. Rasanya oksigen menjauh dari hidungku. Sesak.

“Kamu bilang apa, Des? Putus? Semudah itukah bibir manismu mengucap kata putus? Apa alasanmu memutuskanku?”

Tentu aku tahu alasannya. Hanya saja aku ingin mendengarnya langsung dari bibirnya. Rasanya jeruji ini benar-benar telah patah. Bukan hanya patah, lebih tepat hancur sepertinya. Mataku mulai berkabut. Rasanya kebahagiaanku baru saja dicabut dari akarnya. Aku hancur karena rencanaku sendiri.

Desta mengusirku dari kamarnya setelah beberapa perdebatan sebelumnya. Dia benar-benar membenciku.

*

SUKSES.

Hatiku berteriak girang. Rencanaku berhasil, kecuali kata putus itu. Tidak kusangka rencananya akan seburuk ini. Tapi hasilnya semoga tidak. Aku berharap.

Rencana ini menggangguku

Mencipta rindu pada dirimu

Pada pelukmu

Pada kecupmu

Pada cintamu yang padam karenaku

Pada rencana ini aku mengadu

Jeruji hatiku tak sanggup lagi menahanmu…

***

Hujan datang lagi setelah dua hari ini berhenti. Dewa Indra sepertinya sedang berpesta di nirwana sana. Guntur menyambar-nyambar pucuk pohon yang menjulang tinggi. Menghanguskan.

Aku memandang keluar. Malam semakin pekat. Udara dingin begitu menyiksa. Aku tidak suka dingin. Biasanya aku ditemani Argha di cuaca yang seperti ini. Dipeluknya dari belakang, berbagi kehangatan. Berbagi tempat tidur dan juga kenikmatan. Tapi setelah aku memutuskannya dua hari lalu? Aku bisa apa. Aku tidak mungkin meminta maaf padanya, karena ini jelas kesalahannya.

Hujan semakin deras seiring dengan hari yang semakin malam. Jam dinding menunjuk angka 6 di jarum panjangnya, dan antara 11 dan 12 di jarum pendeknya.

JEDERRR…

Guntur mengagetkanku. Aku terlonjak, tubuhku menggigil, dan jiwaku bergetar. Rasa takutku tidak bisa aku tutupi lagi. Aku tak punya pilihan. Aku harus menghubungi Argha. Harus.

Kunyalakan handphoneku yang dua hari ini aku matikan. Aku tidak ingin mendapat telefon ataupun pesan dari Argha setelah aku memutuskan hubunganku dengannya dua hari lalu. Kontak nomornya berada paling atas.

‘Nomor yang anda hubungi…’

Segera aku matikan panggilan saat yang menjawab adalah operator.

‘Jangan bodoh, Desta. Sekarang hujan. Pasti Argha sedang memeluk kekasih barunya itu. Seperti dia pernah memelukmu sewaktu dulu,’ suara hatiku berlirih, mematikan harapanku yang sempat menyala setelah dua hari redup.

Aku terdiam. Mencerna suara hatiku. Dan hasilnya aku berhenti untuk mencoba menghubungi Argha.

“Argha sudah bukan milikku. Bukan kekasihku. Bukan pria yang mampu menenangkanku lagi, memeluk, mencumbu dan menghangatkanku. Argha bukan untukmu lagi, Des,” Aku bicara pada diriku sendiri. Menegarkan hati yang merindu pada sosoknya yang telah kulepas.

Air mataku mulai menetes. Terlalu sakit kehilangan, walau aku sendiri yang telah melepaskannya untuk orang lain. Sakit itu tetap ada. Seberapa pun tegarnya diri, kehilangan tetaplah membekas. Membekas dalam benak. Apalagi kekasih itu adalah orang yang telah terlalu intim dengan tubuhmu.

Drettt…

Drettt…

Drettt…

Sebuah pesan masuk ke handphoneku.

Dari Argha. Hatiku bersorak. Apakah dia merasakan hal yang sama denganku? Atau sebaliknya, mengirim pesan untuk membakar cemburu? Aku jadi enggan membacanya. Kuletakkan kembali handphoneku di atas meja.

Drettt…

Drettt…

Drettt…

Dari Argha lagi. Hatiku masih bersorak. Debaran jantungku semakin kencang, bak seseorang yang sedang di mabuk asmara, menunggu pernyataan cinta.

[Desta, bisakah kamu ke jendela? Aku ingin melihatmu untuk terakhir kali. Sebelum…]

Belum selesai membaca pesannya aku langsung berlari ke arah jendela. Takut kalau dia sampai melakukan hal yang mengerikan. Bunuh diri misalnya. Tentu aku akan mendapat imbas masalahnya karena aku menerima pesan di detik-detik terakhirnya

Aku mengusap jendela yang mengembun karena hujan. Memandang ke arah luar, mencari keberadaannya. Hujan yang masih deras menyamar keberadaannya.

Tangannya melambai di balik gelap malam. Di sebelahnya berdiri seseorang yang telah merusak semuanya. Menghancurkanku hingga berkeping-keping. Kekasih barunya.

Untuk apa dia datang kesini dengannya? Untuk membuatku cemburu?

Aku melangkah keluar kamar, menuju pintu depan. Semakin dekat dengan pintu, semakin remuk pula hatiku. Air mataku mulai menetes lagi. Di bawah hujan air mataku semakin deras mengalir, melihat pria yang aku cinta dulu berpayung mesra bersama pria lain. Aku hancur, tidak sekedar cemburu, walau kenyataannya aku sudah melepasnya. Dua hari lalu.

“Ada apa?” tanyaku dingin. Di bawah hujan deras aku menggigil dingin.

“Kenapa tidak pakai payung?” dia tidak merespon pertanyaanku. Mengambil alih payung dari tangan pria di sebelahnya dan memayungiku. “Bukankah kamu benci dingin?” lanjutnya. Matanya memperlihatkan kekhawatiran.

“Tidak ada payung di rumah,” Aku berbohong. Bukan tidak ada payung, tapi rindu ini sudah terlalu dalam.

“Jangan percaya. Bukan tidak ada payung, tapi dia terlalu merindumu, Gha,” pria di sebelahnya bicara. Suaranya ngebas. Bicaranya begitu santai. Bajunya yang kering sekarang sudah basah karena payung berpindah di atasku.

“Heh, benarkah itu, Desta?” Argha mengedip padaku. “Benarkah kamu merindu aku?”

“Tentu saja, Gha. Apa kamu tidak melihat pipinya yang memerah ini?” pria di sebelahnya bicara lagi. Dengan sangat lancang dia membelai pipiku.

Argha tertawa.

“Sudahlah, Kak. Jangan menggodanya lagi,” Matanya mengedip ke pria di sebelahnya yang dia panggil Kak. Entah mengisyaratkan apa.

Pria itu pergi ke arah mobil.

“Kamu belum menjawabku. Kenapa kamu kesini di tengah malam begini?” Aku bersuara ketika pria itu sudah menjauh.

Hujan mulai mereda hanya tersisa gerimis tipis yang menghias malam. Argha masih diam, seperti menunggu  waktu yang tepat untuk bicara. Matanya memandang ke arah mobil.

“Untuk memperkenalkanmu dengan seseorang,” Argha bersuara.

“Dan seseorang itu kekasih barumu? Maaf aku tidak ingin kenal,”

Aku melangkah pergi, tapi Argha menangkap tanganku, menarikku dalam peluknya. Bajunya yang kering basah oleh tubuhku. Aku merapat, tanganku mendekap punggungnya. Hidungku membaui harum tubuhnya, dan kepalaku menelusup di dada bidangnya. Tangannya membelai rambutku yang basah. Tidak kuhiraukan lagi apa yang akan di lakukan pria itu jika melihatku memeluknya.

“Nah gitu dong yang akur,” pria itu mengagetkanku. Dia sudah ada di belakangku. Aku melepas pelukkan Argha.

“Maaf aku tidak bermaksud,” ujarku lirih.

“Tidak bermaksud untuk?” tanyanya bingung.

“Merebut kekasihmu,” jawabku pendek.

Tawanya pecah di tengah malam, diikuti oleh tawa Argha.

“Aduh Gha. Pacarmu begitu menggemaskan,” dia berbicara di antara tawanya, “Andai dia bukan pacarmu, Gha. Sudah kubawa kabur sejak tadi,” matanya mengedip padaku.

Aku melotot, “Maksudnya?” tanyaku polos.

“Jangan katakan itu, Kak. Ketampananmu bisa mengalihkan Desta dariku,” Argha berujar lirih.

Pria itu tertawa lagi.

“Apa kalian sedang berusaha membuatku cemburu? Maaf, aku tidak cemburu,”

Aku melangkah pergi. Lagi-lagi Argha menangkap tanganku, menarikku lagi, kembali dalam peluknya. Melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, membelai ramput basahku.

“Jangan tinggalkan aku, Des,” hembusan nafasnya saat berbicara terasa hangat di kepalaku. Wajahku masih terbenam di dalam dadanya.

Aku mendongak, menatap lekat wajahnya, sebelum mataku beralih memandang pria itu.

“Lalu bagaimana dengan dia,” Aku menunjuk pria itu dengan sangat kurang ajar. Karena dia begitu dekat dengan kami.

Argha terkekeh, sedang pria itu tertawa terbahak-bahak. Dan aku? Melongo.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Karena dia terlalu mencintamu, Des” pria itu yang menjawab, “Sangat-sangat mencintaimu sampai membuat ide segila itu. Berpura-pura selingkuh untuk mengetahui reaksimu. Dan ternyata di luar dugaan,”

“Pura-pura,” Aku mendelik pada Argha, dan dia hanya nyengir kuda.

“Ahhh sudahlah, aku hanya melakukan ini sekali,” matanya mengedip padaku. “By the way, Selamat ulang tahun, Des,”

“Heh?”

Pria itu tertawa, “Selamat ulang tahun Desta.” Pria  itu mengeluarkan kue dari balik punggungngya. Hujan memang sudah berhenti sekarang. Membuat lilin itu bisa menyala, hanya bergoyang meliuk-liuk di hembus angin.

“Kamu siapa sebenarnya?” aku menatapnya, rasa penasaranku terlalu banyak sekarang.

“Tiup lilinnya dulu, baru nanti di jawab,”

Aku meniup lilin itu dengan mudah, “Sudah, sekarang jawab!” aku menatap lekat dua sosok di depanku.

“Aku Arghi, kakaknya Argha. Apa kami tidak terlihat mirip?” Pria itu menarik Argha lebih dekat dengannya. Tangannya melingkar di pundak.

Aku menatap mereka lekat. Wajah mereka sama, aku baru menyadarinya. Sangat-sangat mirip, hampir membuatku salah mengenali. Apa karena aku terlalu membencinya sehingga tadi terlihat berbeda? Entahlah…

“Wajah kalian sama,”

“Lebih tampan siapa?” Argha megedip padaku.

“Wajah kalian sama, jelas ketampanannya sama,” jeda. “Bibir ini sama,” aku menyentuhkan jariku ke bibir Argha dan Arghi, “Yang ini juga sama,” kali ini aku menyentuh cuping hidungnya. “Ah kalian terlalu mirip. Mungkin yang beda hanya sesuatu yang tidak terlihat di bawah sana,” aku mengerling pada Argha.

Arghi tertawa bekakakan, sedang Argha sekarang jadi tersenyum jail.

“Ahhh, sepertinya dia ingin melihat sesuatu yang berbeda itu, Ghi.” Matanya mengedip pada Arghi, “Apa kita harus…”

“Jangan gila!” Aku memotong kalimat Argha.

Mereka tertawa kencang, menggema di pekat malam.

Hujan kembali menggauli bumi. Pesta Dewa Indra sepertinya masih berlanjut sampai esok. Kami berlarian ke arah teras rumahku. Menghindari hunusan hujan yang datang tiada henti.

Ketika hujan menyapa

Tiada yang menyangka

Tiada yang menduga

Apa yang akan terjadi pada cinta

Adalah hal yang luar biasa

Ketika hujan menyapa

Aku bahagia…

 

*END*
Dalam dingin malam, Desember 2015