Sexy, Naughty, Dirty cover

Angin beraroma garam masih berhembus dingin dari arah laut. Gemintang berangsur-angsur melenyapkan diri seiring langit yang perlahan-lahan berubah terang. Lengan Dewa masih merangkul bahu Rauf, tangan Rauf masih menggenggam tangan Dewa. Tak ada yang menduga hal itu akan terjadi. Ketika Rauf menolehkan kepala ke arah Dewa, saat itu wajah Dewa justru sedang berada sangat dekat dengan sisi kepala Rauf, itu karena kepala mereka juga sedang bersisian. Bibir mereka saling menyentuh begitu saja. Ciuman itu terjadi dengan sendirinya dan bertahan selama beberapa detik, durasi yang lebih dari cukup bagi Dewa untuk membuat satu lumatan penuh di atas bibir Rauf.

Mungkin esok mereka akan saling menyalahkan, mungkin esok mereka akan saling membela diri, mungkin esok mereka akan sama-sama mengaku salah sebelum mengambinghitamkan suasana. Tapi sebelum semua itu terjadi, yang pasti saat ini, mereka sedang berciuman…

***

Kenyataannya, sempak baru super murah yang dibelinya bersama Kemal kemarin sore tidak seburuk yang disangkakan Arya. Bahkan, rasanya nyaman sekali. Kalau mau lebih jujur dan gila lagi, Arya malah merasa begitu nyamannya hingga sepertinya tidak keberatan keluar dari MCK dengan hanya berkolor doang.

Perasaan itu, euphoria kenyamanan luar biasa yang sedang membungkusnya itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh tembakan air maninya ke dinding MCK kira-kira sepuluh menit lalu, tiga menit setelah Arya berkhayal sedang menggantikan tangan Dewa saat pria itu coli di ruang kerjanya sendiri. Yeah, Arya memang sedang benci dengan pria itu, atau setidaknya dia mengira kalau dirinya benci Dewa, tapi sebenci apapun perasaannya pada Dewa saat ini tak akan merubah fakta bahwa Dewa itu punya semua yang diperlukan Arya untuk berfantasi: wajah tampan, badan atletis, plus organ reproduksi yang sudah pernah dilihat ukuran dan warnanya. Lengkap. Jadi, benci itu dikesampingkan Arya untuk sementara, tiga menit saja.

Sebentar… Tiga menit?

Iya. Kenapa? Cepat? Kalian mau bilang cowok itu menderita ejakulasi dini? Oh, hellAre you f*ckin’ kidding me?

Itu MCK, Bro, bahkan sudah ada yang menggedor pintu tiga menit setelah kalian berada di dalam. Tiga menit sebelum ledakan Arya itu sama sekali tidak dihitung ejakulasi dini kalau terjadi di MCK yang super sibuk itu. Lagipula, Arya sudah lama tidak coli dimana itu berarti kalau kantung spermanya sudah seperti balon hijau yang terus menerus diisi udara hingga nyaris meletus.

“Lihat, kan? Kak Ari udah gak kayak gembel lagi.”

Kemal menggoda Arya sepanjang jalan pulang ke gubuk. Arya memang harus setuju dengan anak itu, kaos hitam lengan panjang dan jins pudar dengan robek menganga di satu lutut yang sedang dikenakannya membuat dirinya tampak seperti ‘manusia’ lagi. Dan dia punya cologne lagi hari ini, bukan yang mahal dan bagus seperti yang pernah dipunyainya tiga minggu lalu, yang ini murah, dan wanginya juga murahan. Tapi setidaknya kehidupannya di jalanan mulai sedikit bergerak maju.

Setelah Arya dan Kemal menjemur baju di kawat jemuran di belakang gubuk, tanpa sarapan, keduanya keluar meninggalkan rumah kembali dengan gitar rusak di bahu Arya. Untuk pertama kalinya sejak tiga minggu terakhir, Arya merasa langkahnya ringan sekali. Ditepisnya bayangan Ayas yang mendadak mucul dan dirangkulnya pundak Kemal. “Hari ini kita cari lokasi baru. Kamu pernah coba mengorek duit dari dompet orang-orang berdasi?”

Kemal menggeleng.

“Kabar bagus buatmu, mereka gak punya uang recehan, Dik.”

Kemal terlihat bersemangat.

“Kita harus menetapkan target.” Arya menurunkan badan gitar dari bahunya dan memperlihatkan benda itu pada Kemal sambil terus berjalan. “Kamu lihat gitar ini, kan?” tanyanya. “Kita harus menggantinya secepatnya, itu target kita.”

“Senarnya? Kalau hanya senar, besok langsung bisa kita ganti.”

Arya menggeleng. “Seluruh bagiannya, Dik.”

“Oh, beli gitar baru…”

“Iya. Gitar baru,” ulang Arya mantap. “Orang-orang berdasi itu akan membuat kita segera punya gitar baru.”

“Kak Ari mau ngamen di kantoran?” tebak Kemal penasaran.

Arya menggeleng. “Kita gak bakal diizinkan ngamen di kantor.”

“Terus?”

“Aku tahu tempat-tempat orang berdasi sering membuang duitnya di luar kantor, ke sana kita akan pergi.” Arya menepuk bahu Kemal sambil tersenyum lebar, anak itu menatapnya. “Selamat datang gitar baru, kan?”

Kemal terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya. Wajahnya sumringah. Seakan saat ini mereka bukan sedang dalam perjalanan melelahkan untuk mengumpulkan uang, tapi sudah mengantongi lembar-lembar uang itu dan sedang dalam perjalanan ke toko alat musik untuk menjemput gitar baru.

Untuk saat ini, harapan bisa memiliki gitar baru bagi mereka tampak begitu meyakinkan untuk diraih. Campur tangan Tuhan sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka pada detik ini. Seakan ‘manusia bisa merencanakan apapun’ sama sekali tidak dilanjutkan dengan ‘Tuhanlah yang menentukan’ melainkan berlanjut dengan ‘pasti kesampaian’.

Pikiran manusia kadang memang semuluk demikian. Pikiran anak manusia memang bisa semuluk itu. Oh, well… mereka hanya anak-anak, Arya dan Kemal, belum ada satu orang pun dari mereka berdua yang sudah melewati batas usia untuk disebut dewasa. Arya sendiri masih memiliki dua tiga bulan lagi untuk disebut anak-anak. Karenanya, mereka bebas berpikir semuluk apapun selama mereka masih anak-anak.

***

Hal terakhir yang diinginkan Rauf di dunia ini adalah, berciuman dengan Dewa di awal pagi yang dingin setelah membiarkan pria itu menjenguk lukanya yang sudah laten. Apa yang sedang dipikirkannya? Bagaimana dirinya bisa bertingkah semenjijikkan itu? Berciuman dengan orang yang punya kelamin sama dengannya? Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Kalau dia masih punya akal sehat, hal seperti itu tak perlu terjadi.

Rauf memukul busa sabun yang mengambang di permukaan bathtub hingga air dalam bak berendam itu melimpah keluar, menyingkirkan sebagian kecil busa ke ubin kamar mandi. Pria itu menggeram sendiri.

Kejadian tadi murni salah Dewa.

Begitukah?’

Bukankah harusnya dia bisa menghindar? Ada banyak ruang untuk memundurkan dirinya jauh dari Dewa. Dan kalau pikirannya cukup waras, dirinya bisa saja mendorong Dewa menjauh, atau menonjoknya sekalian. Tapi bukankah saat di sana dia tidak berbuat begitu? Yang dilakukannya malah bergeming di tempatnya sementara detik-detik berlalu dengan bibir Dewa di bibirnya.

Jadi kini… masihkah itu murni salah Dewa?

Rauf memerosotkan dirinya ke dalam bathtub hingga dagunya menyentuh permukaan busa. Ada nyeri yang tiba-tiba melintas ulang-alik di kepalanya saat ini.

Harusnya, dia tidak membiarkan Dewa bertindak intim padanya sejak awal. Harusnya dia tidak membiarkan bahunya direngkuh Dewa. Tapi… Rauf sangat ingat kalau dialah yang punya inisiatif untuk meraih jemari Dewa dan meremasnya ke dalam tangannya. Jadi… siapa yang sekarang bertindak intim kepada siapa?

“Arrrgghh…!!!”

Bathtub itu bisa saja pecah dan menumpahkan sosoknya keluar kalau dia meninju dindingnya lebih keras sedikit lagi.

‘Damn you, Rauf! Damn you…!’

Sekarang, setelah semua hal yang pertanyakannya pada Dewa tentang ‘bagaimana Dewa bisa suka laki-laki’, setelah ciuman mereka pagi tadi, apa dia masih punya muka lagi untuk bertemu pria itu?

Jawabannya segera saja ditemukan Rauf. Dia sungguh sudah kehilangan tidak hanya kewarasannya jika masih punya muka untuk bertemu Dewa, tapi dia juga akan kehilangan siapa dirinya selama ini.

Tapi… sungguhkah dia tak ingin bertemu Dewa lagi? Bagaimana dengan misi ‘menjalin pertemanan’ yang mulai digagasnya dengan Dewa dalam beberapa minggu terakhir ini? Bukankah sejak awal dirinya memang ingin bersahabat dengan pria itu terlepas apapun status orientasi seksualnya?

Rauf membimbang seketika di dalam bathtub-nya.

Dia ingin menyalahkan Dewa kerena merusak misinya untuk berteman. Bagaimanapun juga, Dewa-lah yang melumat bibirnya lebih dulu. Seharusnya Rauf bisa menyalahkan Dewa saja, tapi dia tidak bisa melakukan itu tanpa menganggap kalau dirinya juga punya andil sama besar dengan Dewa dalam merusak misi itu. Dia yang berpaling ke wajah Dewa hingga bibir mereka berpagut. Dewa sudah jelas maho, dia hanya bertindak sesuai naluri mahonya. Sedangkan dirinya, dia bukan homo, kan? Seharusnya dialah yang jadi pihak penentu. Seharusnya dialah yang memilih untuk mencegah, atau membiarkan ciuman itu terjadi. Dan sudah jelas sekali kalau Rauf memilih membiarkan ciuman itu terjadi.

Jadi… sekali lagi… siapa yang sekarang lebih patut disebut sebagai terdakwa dalam kasus ciuman mereka awal pagi tadi?

Rauf tidak berani menjawab. Karena jika dia memberanikan dirinya menjawab, dia harus melewati pergolakan batin yang lebih melelahkan lagi, tentang status kejantanannya…

Rauf bangun dari posisi merosotnya lalu keluar dari dalam bathtub, busa sabun menempel di banyak bagian tubuhnya yang kecoklatan sempurna. Sambil membilas diri di bawah shower, dalam kondisi telanjang bulat, Rauf memandangi batang penisnya yang menjuntai ke bawah menunjuk ubin sembari bertanya-tanya sendiri, apakah kejadian dengan Dewa tadi pagi adalah gejala awal menuju keruntuhan kelelakiannya? Jika iya, dia ingin mati saja…

Tapi… sebelum mati, dia harus menemukan Arya terlebih dahulu untuk melunasi tanggung jawab moralnya terhadap anak itu.

Sudah diputuskan, mulai hari ini dia akan berusaha menemukan Arya seorang diri demi mencegah terjadinya gejala selanjutnya menuju keruntuhan kelelakiannya jika seandainya dia mencari bersama Dewa. Karena sepertinya Dewa punya mantra untuk membelokkan orientasi seksualnya, maka dia harus menghindari pria itu, meski itu berarti menggakhiri misinya untuk menjalin pertemanan dengan seseorang setelah sekian lama tidak punya teman.

***

Tak ada jejak Ren yang tertinggal, laki-laki itu sudah resmi pergi dari rumahnya, semoga juga dari hidupnya. Tebakan paling mendekati, Ren langsung naik taksi──mungkin sambil menangis──untuk menuju rumah setelah dinner perpisahan mereka semalam, Ren pasti kemudian mengambil semua barang-barang miliknya──mungkin sambil menangis lagi──yang kebanyakan tersebar di kamar tidur, lalu pergi setelah menaruh kunci──mungkin masih sambil menangis──di bawah vas bunga di meja beranda dengan gantungan yang sengaja dibuat terlihat agar bisa ditemukan dengan mudah. Yang pasti, tak ada lagi Ren beserta apapun yang mungkin bisa disebut sebagai bekas DNA Ren di rumahnya.

Dewa menghempaskan diri menelentang di atas ranjang, lengan kiri melintang di kening, mata menyorot kosong. Plavon kamar balas menatapnya.

‘Apa yang sudah loe lakuin, Wa?’

Dewa tidak punya ide tentang apa yang sedang dipikirkan Rauf saat ini, selain mungkin bahwa Rauf sudah menganggapnya benar-benar bajingan. Minimal Rauf pasti berpikir bahwa dirinya bajingan. Bagaimana Rauf bisa tidak berpikir begitu? Sebelum melumat bibir Rauf, dia tepat sedang bertindak bagai pecinta sejati yang merasakan jatuh cinta pada seseorang untuk pertama kalinya, berkata-kata menerangkan kalau ada sesuatu yang terjadi di dalam dirinya sebagai respon atas kehadiran Arya di sekitar dunianya. Kemudian dia malah mencium Rauf.

Gila, kan?

Bagaimana dia bisa tidak disebut bajingan jika begitu kejadiannya? Berkata jatuh cinta pada seseorang lalu tiba-tiba malah berciuman dengan lain orang, ya, itu salah satu sikap bajingan. Rauf pasti berpikir begitu, juga bahwa semua yang diomongkannya tentang jatuh cinta sesaat sebelum dia jadi bajingan adalah bualan kosong semata.

Sialan.

Seharusnya dia tidak mencium Rauf. Seharusnya dia tidak memancing pria itu untuk memperlihatkan sisi rapuhnya pagi tadi. Seharusnya mereka tidak berhenti untuk merokok di pantai. Seharusnya mereka tidak bertukar cerita apapun.

Sialan.

Dewa menurunkan lengan kiri dari kening lantas menggantinya dengan lengan kanan. Rauf pasti marah. Jelas terlihat pada caranya menarik diri lalu masuk ke jok setelah ciuman itu. Marah itu juga jelas terlihat dari cara Rauf mendiamkan diri selama perjalanan menuju mobilnya di parkiran ABClub. Bahkan Rauf tidak mau repot-repot meliriknya sepanjang perjalanan, konon lagi berbicara padanya. Apa setelah ini mereka tak akan jadi teman lagi? Ya Tuhan, bahkan Dewa belum mengembalikan pakaian Rauf yang diambilnya di hari pertama mereka berteman. Dan tadi di parkiran ABClub, Rauf membanting pintu mobil keras-keras saat keluar. Sepertinya iya, mereka tak akan berteman lagi setelah ini.

‘Apa yang sudah loe lakuin, Wa?’

‘Gue nyium bibir Rauf… ya ampun, gue nyium bibirnya. Bibirnya…’

Dewa bangun dan duduk di tepi ranjang. Kilasan ciumannya dengan Rauf berputar-putar di kepala, dan anehnya kini dia mulai merasa santai karena kilasan itu. Sosok Rauf dalam keratan foto yang sepertinya masih ada di dalam dompetnya menambah kadar santai yang dirasakan Dewa saat ini. Lalu… tekstur batang penis Rauf yang sudah sempat dipegangnya tempo hari ikut menimbulkan letupan-letupan serupa kembang api di dalam diri Dewa. Kombinasi ketiga hal itu: ciuman dengan Rauf, sosok bagus Rauf di dalam foto yang tercetak sempurna, dan sensasi batang penis Rauf di jari-jarinya, membuat Dewa bertanya-tanya, seperti apa rasanya coli bareng Rauf?

‘Loe udah gila, dan loe benar-benar bajingan. Bagaimana dengan Arya?’

‘Arya dan Rauf tidak bisa dicampur aduk. Rauf adalah passion, tapi Arya tetaplah hati. Rauf bisa mendapatkan passion gue, tapi hati gue hanya untuk Arya.’

‘Sah, loe memang bajingannya.’

‘Whatever, gue baru aja dapetin ciumannya. Mungkin kalau besok-besok gue mau berusaha lebih gigih lagi, kejadian seperti tadi gak akan hanya berakhir pada ciuman…’

‘F*ck yourself, Asshole!’

‘Yeah, f*ck yourself too…’

Dewa meninggalkan ranjang untuk ke kamar mandi dengan satu kesimpulan akhir: bibir Rauf benar-benar cipokable banget.

***

Alih-alih mendapatkan uang kertas dari orang-orang berdasi, mereka bahkan harus rela diusir pelayan. Setiap kafé yang dikatakan Arya pada Kemal sebagai tempat orang-orang berduit nongkrong saat tidak sedang bekerja ternyata sudah punya band sendiri. Arya benar-benar dungu tidak memperhitungkan hal itu, padahal sudah sangat jelas.

“Sekarang bagaimana?”

Kemal menjelepok lelah di luar halaman sebuah kafé, setelah dua menit lalu diusir pelayan. Ini adalah tempat ke tujuh yang mereka datangi sepanjang siang ini, hanya untuk diusir yang ke tujuh kalinya juga.

Arya ikut jongkok di sebelah Kemal, gitar di depannya. “Aku gak ingat kalau mereka punya band untuk memainkan musik.”

“Kak Ari gak tahu tempat yang gak ada bandnya?”

“Pasti ada kafé-kafé yang gak ada bandnya, tapi aku gak tahu kafé yang mana. Aku jarang nongkrong di kafé saat masih di rumah.” Saking sibuknya sama bokep di laptop, lanjut Arya dalam hati.

Hati Arya tiba-tiba mencelos saat mengingat koleksi bokep-bokepnya yang semua full HD itu, yang sudah dikumpulkannya dengan susah payah selama tiga tahun terakhir, sekarang ikut raib bersama hilangnya ransel miliknya. Shit. Pasti butuh bertahun-tahun lagi untuk mengumpulkannya semula.

‘Wake up, Arya… loe kini gelandangan dan masih sempat-sempatnya mikirin koleksi bokep full HD loe? Waras gak sih pala loe?’

Arya memandang Kemal yang tampak kelaparan dan kehausan di sebelahnya. Dia merasa bersalah telah menyalakan harapan di dalam diri bocah itu, membakar semangatnya, hanya untuk dipadamkan lagi kemudian. “Hei, apa aku udah cerita kalau aku punya gitar di rumah?”

Kemal tidak segera menjawab, tapi kemudian dia menggeleng lesu.

“Ya, aku punya satu di rumah. Tidak sering kumainkan, jadi masih lumayan baru. Suatu saat nanti gitar itu akan kuberikan buatmu, Mal. Aku janji…”

Di pikiran Arya, suatu hari nanti──mungkin dua atau tiga minggu dari sekarang, ketika dia sudah benar-benar menyatu dengan kehidupan jalanan dan bonyoknya barangkali sudah lupa kalau mereka pernah menyandang status sebagai papa dan mamanya, dia akan menyelinap pulang di hari kantor, membobol isi kamarnya dan lalu pulang ke gubuk Kemal dengan baju-baju dan gitarnya.

Kemal menatap lesu pada lalu-lalang kendaraan di jalan di depan mereka. Sepertinya cerita tentang gitar Arya tidak mampu menarik perhatiannya.

“Kamu akan suka gitarku, Mal, pasti…,” lanjut Arya penuh keyakinan.

Kemal sekarang menoleh pada Arya. “Bisakah kita ngamen ke tempat biasa saja?”

Yah, bukan salah Kemal kalau bocah itu terlihat sama sekali tak peduli pada gitar di rumah Arya. Anak-anak dengan kehidupan keras seperti Kemal memang hanya peduli pada hal-hal yang realistis saja. Kenyataannya hari ini, Arya sudah mengecewakan bocah itu satu kali dengan iming-iming dapat uang banyak untuk membeli gitar baru. Cerita tentang gitar di rumahnya yang belum pernah diketahui Kemal hanya akan menambah ketidakpercayaan bocah itu padanya. Arya menyesal memberitahu Kemal tentang gitarnya. Setelah kekecewaan yang sudah dialaminya, hal terakhir yang diinginkan Kemal hari ini pastilah diiming-imingi lagi dengan janji yang terdengar sangat tidak realistis buatnya. Arya tidak bisa mencegah dirinya untuk berpikir kalau ada kemungkinan Kemal mengangggapnya bohong, bahwa cerita tentang gitar di rumahnya hanya akal-akalan Arya saja untuk menghiburnya.

Arya menghembuskan napas panjang setelah detik-detik berlalu dalam kediaman dan kelesuan di antara mereka. Ditepuknya bahu Kemal pelan lalu diambilnya gitar dan berdiri. “Ayo, kita beli makan buatmu, lalu setelahnya kita ngamen ke stasiun lagi kayak kemarin.”

Kemal bangun, menepuk-nepuk pantat celananya yang berabu lalu berjalan mensejajari langkah lebar Arya dalam diam.

Mereka sudah belasan menit berjalan meninggalkan area kafé──dimana mereka diusir pelayan untuk ke tujuh kalinya──ketika tiba-tiba Kemal berseru nyaring. “Ada om-om mirip Kak Ari baru turun dari mobil di sana!”

Langkah Arya terpantek begitu saja di trotoar. Di sebelahnya, Kemal ikut berhenti bergerak. Mata Arya memandang lurus. Belasan meter di seberang jalan sana, di depan sebuah gedung perkantoran, papanya sedang turun dari dalam mobil bersama tiga orang rekan kerjanya yang entah siapa. Bodoh, bagaimana dia bisa tidak ingat kalau kantor papanya berada di sekitar sini?

Sang supir melaju kembali setelah menurunkan tuannya dan rombongan. Arya masih memandang orang-orang berdasi itu hingga sosok-sosok mereka melewati pintu kaca otomatis di lobi kantor. Papanya terlihat baik-baik saja. Dia masih menjalani rutinitasnya dan tetap sibuk seperti biasa. Padahal, Arya masih di luar sini.

Pertanyaan-pertanyaan menggema begitu saja di dalam diri Arya. Pernahkah papanya, sekali saja, mengkhawatirkannya selama tiga minggu ini? Pernahkah papanya bertanya-tanya dimana dia melewati malam-malam dingin dan mengobati laparnya selama berhari-hari tidak pulang? Pernahkah papanya ingin tahu dimana keberadaannya selama lebih dari tiga minggu ini? Pernahkah papanya tidak bisa tidur karena dia tak kunjung pulang ke rumah? Pernahkah papanya sekali saja dalam tiga minggu ini memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup tanpa kartu ATM dan kartu kredit dan semua fasilitas yang pernah dipunyainya?

Arya menggigit bibirnya kuat-kuat. Kalau papanya benar-benar punya rasa sayang dan peduli, saat ini seharusnya Arya sudah ditemukan polisi lalu dipulangkan ke rumah. Tapi nyatanya Arya punya orang tua yang tidak sepeduli itu untuk membuat laporan orang hilang ke kantor polisi setelah darah daging mereka tidak pulang berhari-hari. Arya mendadak merasa perih sendiri.

Jari-jari kurus dan kasar milik Kemal menggenggam jari-jarinya. Arya menoleh pada anak itu. Hatinya terenyuh seketika. Untuk pertama kalinya sejak dia tidak lagi menangis dalam kurun waktu yang begitu lama, mendadak sekarang Arya ingin menangis saja.

“Itu papanya Kak Ari?” tanya Kemal polos.

Arya mengerjap satu kali lalu menggeleng. “Dulunya,” jawabnya singkat lalu menyeret langkahnya dan tangan Kemal untuk bergerak maju. Dia sadar kalau Kemal masih menoleh ke arah gedung perkantoran megah itu sampai lehernya terpelintir ke belakang. Arya menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan Kemal saat ini di dalam kepala bocahnya. Apapun yang dipikirkan Kemal saat ini, menurut Arya pasti tak jauh-jauh dari: pasti menyenangkan rasanya punya bapak dan ibuk yang bekerja di kantor segede itu.

Well, Kemal hanya bocah. Bukan salahnya kalau dia punya pemikiran seperti itu. Yang salah adalah hidup Arya karena punya orang tua yang sama sekali tidak peduli dan tidak menyayanginya.

***

Dewa masih menungggu di depan pintu apartemen Rauf, dengan sisa-sisa keyakinan kalau pria itu akan luluh dan membukakan pintu untuknya. Jika sudah dua hari ini pesan-pesannya tidak digubris, panggilan-pangggilan teleponnya diabaikan, maka datang langsung ke tempat Rauf adalah solusi terakhir.

“Raf, gue tahu loe ada di dalam, gue liat mobil loe di parkiran. Jadi, please, buka pintunya.” Dewa kembali mengetuk.

Di sisi berseberangan, di balik dinding yang membatasi bagian luar apartemen dengan bagian dalamnya, di sofa burgundy miliknya, Rauf berbaring terlentang dengan lengan terjalin di bawah tengkuk. Dia ingin tahu, berapa lama lagi Dewa sanggup bertahan di depan pintunya.

“Raf,” panggil Dewa.

Rauf hanya melotot pada plavon ruang tamu apartemennya.

Tot tok tok.

Rauf masih memelototi plavon, bahkan mulai mempelajari pola lekuk-lekuk dan garis-garis dari ukiran di plavonnya. Sebelumnya dia tidak punya waktu untuk melakukan itu, tapi syukur berkat Dewa kini dia jadi sadar kalau apartemennya punya plavon yang cantik.

Dewa hilang sabar. Ditendangnya pintu apartemen Rauf hingga mengeluarkan bunyi berdebuk. “Okey, fine! Gue bakal nyari Arya sendirian, loe silakan aja terus ngeram di dalam sambil pura-pura budeg!”

Rauf menunggu hingga tiga menit baru kemudian bangun dari sofa dan berjalan ke arah pintu. Dia berusaha mencari tahu keberadaan Dewa dari lubang intip di pintunya. Tak terlihat sosok Dewa di luar pintu, sepertinya pria itu sudah benar-benar pergi, setidaknya begitulah Rauf berpikir sampai tiba-tiba…

“Whoooaaa…!”

Berbarengan dengan teriakan itu, muka Dewa memenuhi lubang intip, membuat Rauf terperanjat dan refleks menyisi dari pintu. Dewa berhasil mengerjainya. Benar-benar sial.

BAMM BAMM BAMM

Pintunya dipukul-pukul Dewa dari sebelah luar. “Gue udah ngeliat loe, Raf. Buruan buka pintunya!” seru Dewa. Kini dia tidak lagi mengetuk dengan jari, tapi memukul-mukul pintu itu dengan telapak tangannya. “Raf, bukain gak?”

“Sebaiknya loe pergi, Men…” Rauf memutuskan untuk memproklamirkan keberadaannya di balik pintu. Toh Dewa juga baru saja melihatnya.

Hening.

“Sebaiknya loe pergi!” ulang Rauf lebih mantap.

“Ke mana?”

“Ke dunia loe sendiri.”

Hening kembali.

“Gue mau nyari Arya, loe gak mau ikut?” Dewa sepertinya sedang mengetuk-ngetukkan dahinya ke pintu Rauf.

“Sebaiknya kita nyari sendiri-sendiri.”

“Kenapa?”

Hening lagi.

“Loe takut jatuh cinta sama gue kalau lama-lama berada di dekat gue?”

‘Dewa sialan,’ batin Rauf. Dia berusaha menenangkan diri. “Loe cinta Arya, kan?”

Hening kembali.

“Seharusnya loe fokuskan perasaan loe ke Arya kalau loe sungguh-sungguh jatuh cinta ke dia kayak yang loe bilang kemarin.”

“Ini loe lagi ngomongin apa sebenarnya?”

Yap, Dewa benar-benar sialan. Dia sedang memaksa Rauf untuk menyebut tentang kejadian di awal pagi Sabtu itu. Tapi Rauf belum gila dengan bersedia mengungkit-ungkit perihal ciuman mereka waktu itu.

“Gue bukan homo, Men.”

“Yang bilang loe homo siapa?”

Hening lagi.

“Gue mau nyari Arya, loe beneran gak mau ikut?” tanya Dewa kembali setelah mereka terdiam lumayan lama. “Gue janji deh, kita cuma bakalan nyari aja, loe bisa bawa mobil loe sendiri kalau memang gak mau semobil bareng gue.”

Apa yang terjadi pada pria itu? Apa dia sungguh mengira kalau Rauf sedungu demikian? Kalau mereka bawa mobil sendiri-sendiri, bukannya lebih baik mereka nyarinya sendiri-sendiri juga? Rauf mengasihani cara berpikir Dewa yang menurutnya terdengar putus asa dan menyedihkan. Atau… itu cuma tak-tik saja biar dia luluh dan membukakan pintu lalu menurut ikut dengannya? Rauf mulai merasa bodoh sendiri. Dia tadi sejenak lupa kalau Dewa itu punya sifat dasar sebagai bajingan. Tindakan paling bijak saat ini sepertinya memang menjauhi Dewa. Rauf memang tidak bisa sepenuhnya menimpakan kesalahan insiden ciuman mereka kemarin kepada pria itu, walau bagaimanapun dirinya juga punya andil dalam membuat ciuman itu terjadi. Dan karena itulah, pilihan paling bijak yang ada saat ini adalah menghindari Dewa untuk batas waktu yang belum bisa ditentukan.

“Loe sebaiknya pergi,” tutup Rauf setelah menimbang-nimbang lalu menjauh dari pintu.

Dewa merasa jengkel dengan serta merta.

BAMM BAMM BAMM

BUKK BUKK

Dewa memukul dan menedang pintu ketika sadar kalau perundingannya dengan Rauf sudah berakhir dengan jalan buntu. “Fine, silakan mendekam di sarang loe sambil yakinin diri loe sendiri kalau loe bukan maho. Tapi sambilan loe yakinin diri loe sendiri, tolong renungkan ini juga, Dude…” Jeda sebentar. “Kenapa pagi itu loe gak ngehindar saat gue cium? Kenapa gue ngerasa kalau loe malah menikmatinya?” Dewa memukul pintu satu kali lagi sebelum pergi. Itu saja. Bye…!”

‘Kenapa pagi itu loe gak ngehindar saat gue cium?’

‘Kenapa gue ngerasa kalau loe malah menikmatinya?’

Ya, Dewa benar sekali bertanya demikian. Mengapa dia tidak menghindar? Mengapa dia malah membiarkan detik-detik berlalu? Detik-detik itu, waktu itu, masa itu, tenggat dalam ciuman itu. Dewa benar… kalau dia tidak menikmati, bukankah seharusnya detik-detik itu, waktu itu, masa itu, tenggat dalam ciuman itu sama sekali tidak ada, kan? Sial… ini berarti kalau dia memang menikmati ciuman mereka.

Rauf mendadak ingin bunuh diri saja.

***

Ada cek-cok yang terjadi di gubuk itu. Arya sama sekali tidak tahu mengapa. Pertengkaran itu sudah terjadi saat mereka kembali dari mengamen ketika hari sudah malam. Dua orang adik Kemal sama-sama tengah menangis di dalam sana, ditingkahi adu mulut bapak dan ibuk mereka. Arya urung melangkah masuk, tapi Kemal langsung saja menerobos pintu. Malam ini adik-adiknya tidak menyambut kepulangan Kemal dan nasi bungkus yang dibawanya dengan sukacita dan loncat-loncatan seperti malam-malam kemarin. Bahkan sepertinya mereka sama sekali tidak peduli seandainya malam ini Kemal pulang membawa emas di tangan, orang tua mereka sedang bertempur sengit.

Arya mematung di luar gubuk, sementara Kemal berusaha mendiamkan adik-adiknya di dalam gubuk. Arya sebenarnya ingin masuk, melerai pertengkaran dua orang dewasa di dalam gubuk, tapi dia merasa kalau dirinya tak punya wewenang untuk melerai. Selama tidur di gubuk Kemal, tidak satu kali pun dia bertegur dengan ibuk atau bapak anak itu. Melerai pertengkaran mereka sekarang apa rasanya tidak akan lucu? Bagaimana kalau mereka malah menyuruhnya enyah saja?

Kemal sepertinya berhasil membujuk adik-adiknya untuk mau keluar. Mereka melewati pintu tepat saat bising suara panci yang sepertinya dilempar seseorang menghantam benda lainnya yang lebih keras di dalam gubuk. Setelah suara itu, adu mulut kembali diteruskan. Arya berpandangan dengan Kemal sesaat, ekspresi di wajah anak itu tampak biasa-biasa saja. Arya menyimpulkan kalau pertengkaran orang tua Kemal bukan pertama kali ini terjadi.

“Kalian, pergilah makan di sana, ya?” Kemal mendorong adik-adiknya yang masing-masing sedang memegang bungkus nasi ke dekat tumpukan rangka-rangka kayu bobrok tak jauh dari gubuk. Adiknya menurut. Kemal lalu memandang Arya lagi. “Bapak nerusin hobi mabuk-mabukannya lagi…”

Ya, Arya bisa mendengar itu dari pertengkaran orang tua Kemal di dalam sana.

“Ibuk kalap saat bapak enggak bawa pulang duit hasil jualan barang pulungan tapi malah bawa pulang bau miras…”

“Apa bapakmu sedang mabuk di dalam?” Arya terdengar khawatir.

Kemal melambaikan tangan dengan santainya. “Gak usah kuatir, Kak, Ibuk udah biasa, dia bisa menanganinya kok. Palingan juga bentar lagi Bapak ngacir pergi kalau udah gak tahan direpeti.”

Dan benar saja, tak sampai sepuluh detik setelah Kemal berkata begitu, pintu gubuk terbanting membuka dan sosok bapak Kemal menghambur keluar dengan tampilan kusut masai. Teriakan istrinya yang menyuruhnya untuk mati saja mengikuti di belakang. Arya sejenak bertatapan dengan bapaknya Kemal, hanya sesaat sebelum dengusan kasar si bapak menyudahi itu. Dengusan itu, mau tidak mau membuat Arya merasa kalau bapaknya Kemal tidak menyukai keberadaannya di sana. Arya mengalihkan perhatiannya ke sosok Kemal sementara si bapak yang tidak menunggu untuk disuruh mati saja hingga dua kali oleh istrinya bergegas pergi.

Sejenak keheningan menggantung di udara sekitar gubuk sampai sosok ibuknya Kemal muncul di pintu dengan lampu teplok di tangan, menyuruh adik-adiknya Kemal kembali masuk ke dalam.

Arya masih mematung sampai pintu tertutup setelah dua orang adiknya Kemal masuk sambil menatang sisa nasi bungkus yang belum dihabiskan dengan kedua tangan masing-masing. Kemal juga belum bergerak. “Ayo, kita masuk, Kak Ari. Nasinya masih ada sebungkus lagi di dalam, gak apa ya kita makan sebungkus berdua malam ini?”

Arya tersenyum pada Kemal. Perasaannya tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata saat ini. Sorot tajam tatapan bapaknya Kemal sesaat lalu mengganggu Arya. Apa keberadaannya untuk numpang tidur di gubuk itu sebenarnya adalah sebuah beban bagi mereka? Tapi… Arya cuma tidur di sana, dia tidak menghabiskan sumber daya lain selain tanah berlapis terpal dan kasur tipis di gubuk itu, dan sehelai sarung bau apek. Arya tidak menghabiskan makanan mereka. Arya juga tidak berada di sana sepanjang hari untuk memakai apapun fasilitas yang ada di dalam gubuk itu untuk betahan hidup. Arya selalu pergi pagi-pagi dan pulang untuk tidur saat awal malam. Dia tidak pernah satu waktu pun makan dari dapur gubuk itu. Dirinya dan Kemal selalu membeli nasi bungkus sendiri dengan uang hasil mengamen mereka sendiri.

Tapi… bukankah kalau semisalnya dia tidak ada, Kemal cukup membeli dua bungkus nasi saja untuk dimakan bertiga dengan adiknya? Sisa uang untuk membeli nasi bungkus ketiga bisa diserahkannya ke ibuknya. Atau, kalau Kemal memang selalu membeli tiga bungkus, bukankah kalau dia tidak ada maka jatah nasi itu bisa dimakan ibuk atau bapaknya?

Arya merasa telah menjadi egois selama ini dengan tidak menyadari kondisi keluarga Kemal lebih awal.

“Kak Ari gak mau masuk? Atau mau makan di luar sini? sebentar, kuambilkan dulu nasinya.” Kemal siap berbalik untuk masuk ke gubuk.

“Mal…” Arya menahan pundak anak itu.

Kemal urung berbalik. “Ada apa?” tanya Kemal sambil mengernyit menatap temannya yang lebih tua itu. “Kak Ari mau pergi?” tanyanya begitu saja.

Arya berusaha terlihat tidak apa-apa, dia tersenyum dan memberi Kemal sebuah anggukan.

“Ke mana?”

Arya menggidikkan bahunya. “Entah. Mungkin pulang,” jawabnya santai agar Kemal tidak perlu mencemaskannya.

Kemal terdiam sebentar seperti sedang memikirkan sesuatu. “Apa karena bapak dan ibuk bertengkar?”

Kemal terlalu polos jika mengira Arya pergi karena mendengar orang tuanya bertengkar. “Bukan,” jawab Arya. “Aku hanya kangen adikku,” lanjutnya sambil tertawa pendek. “Lagian, rasanya aku sudah berada terlalu lama di luar sini untuk menyusahkanmu.”

“Kak Ari gak nyusahin kok, malah Kak Ari ngebantuin aku ngamen.”

Arya sekali lagi tersenyum buat Kemal. Digosoknya telapak tangannya ke kepala Kemal. “Jaga diri baik-baik ya, tetaplah jadi anak baik buat keluargamu. Aku harap kita bisa ketemu lagi kapan-kapan…”

Kemal melongo.

Arya menegakkan badan, menatap gubuk di depannya sebentar lalu kembali memfokuskan pandangan ke sosok bocah dua belas tahun di depannya. “Aku harap, saat kita punya kesempatan ketemu lagi nanti, kamu udah jadian sama si Eneng itu…”

Kemal tertawa pendek, tapi matanya berkaca-kaca.

“Jadi, terima kasih ya…” Arya mengulurkan tangan kanannya, mengajak Kemal bersalaman. Bocah itu menyalaminya dengan canggung. “Sampai ketemu…”

“Sampai ketemu,” balas Kemal lesu.

***

Dewa melampiaskan kekesalannya karena diabaikan Rauf dan karena tak kunjung menemukan Arya, pada Audrey. Dia tiba di kontrakan cewek itu saat hari sudah gelap. Dalam keadaan belum mandi dan bau keringat dan uring-uringan karena sudah lama sekali penisnya tidak dimanjakan seseorang. Karenanya, begitu pintu kontrakan Audrey terbuka, Dewa langsung menghambur masuk dan memaksa Audrey untuk bercinta dengannya. Tapi sialnya, Audrey sedang mendapatkan siklus bulanannya lagi, hari pertama pula.

Oral job saja kalau gitu, Drey, please…” Dewa memelas sambil membuka ikat pinggangnya.

Audrey tersenyum manja. “Kak Dewa pergilah ke kamar mandi, bersihkan diri, lalu berbaring di kamar. Kak Dewa belum pernah merasakan pijatanku, kan?”

“Kak Dewa pengen diisap sekarang, Drey… please…”

Audrey mendesah manja lagi. Sepertinya dia memang harus menuruti Dewa, kalau tidak pria itu pasti akan meninggalkannya. Audrey belum mau ditinggalkan Dewa, dia masih butuh dukungan finansial dari pria ini. Lagipula, permintaan Dewa tidaklah berat kalau dipikir-pikir. Dia hanya perlu membuka mulutnya, sisanya biar Dewa sendiri yang mengurus. Audrey menarik lengan Dewa dan menuntunnya ke sofa di ruang depan. Di dorongnya sosok Dewa untuk duduk bersandar di sofa. Audrey memposisikan dirinya berlutut di antara paha Dewa lalu mulai mengeluarkan penis pria itu yang sudah keras dari dalam celana dalamnya.

Dewa menengadah dengan mulut terbuka ketika batang kejantanannya lenyap ke mulut Audrey. Saraf-sarafnya yang menegang seharian tadi seketika mengendur seiring gerakan pinggulnya yang bergerak maju mundur dengan irama lambat di depan wajah Audrey yang tengah menunduk ke selangkangannya.

***

Rauf merasa harinya berantakan. Moodnya sedang rusak seharian ini. Mood rusak ini sudah dimulai sejak Dewa meninggalkan pintu apartemennya tadi pagi dengan dua pertanyaan sialan yang terus mengganggunya, masih terus mengganggunya hingga sekarang saat dia sudah pulang kembali ke apartemennya setelah seharian mengemudi tak tentu tujuan bagai orang gila.

Rauf menghempaskan tubuh di sofa dengan perasaan gerah. Dia berkeringat cukup banyak hari ini. Memikirkan dua pertanyaan Dewa itulah yang membuatnya gerah sepanjang hari dan memeras semua keringatnya. Yang paling dibutuhkan Rauf saat ini tentu saja adalah mandi, lalu tidur untuk mengumpulkan energinya agar esok hari bisa fit melatih di Gym X. Tapi dia enggan mandi, bahkan enggan merasa ngantuk.

Rauf hanya bertahan lima menit berbaring di sofa. Memasuki menit ke enam, dia bangun dan mendudukkan diri dengan perasaan frustrasi, nyaris stress malahan. Denyutan di dalam kepalanya kembali muncul dengan serta-merta. Denyut itu, sepertinya akan jadi efek permanen setiap kali Rauf teringat pertanyaan Dewa.

‘Kenapa gue ngerasa kalau loe malah menikmatinya?’

Rauf meremas rambut di kepalanya lalu bangkit meninggalkan sofa. Alih-alih beristirahat dan menenangkan pikiran, Rauf malah menyambar kembali kunci mobil yang tadi dilemparnya ke atas meja lalu bergerak ke pintu.

Rauf butuh pembuktian bagi status kelelakiannya, malam ini juga. Yang diperlukannya hanyalah satu buah kondom──dua deh, untuk berjaga-jaga kalau yang pertama sobek──dan tentu saja seorang wanita. Rauf sangat tahu di mana dirinya bisa mendapatkan dua hal itu di saat bersamaan. Ke sanalah dia harus pergi.

***

Arya sama sekali tidak berniat pulang. Apa yang dikatakannya pada Kemal hanyalah untuk menenangkan perasaan anak itu saja agar tidak mencemaskan keadaannya. Dalam kebuntuan pikiran, dia tidak sadar kalau sudah berjalan nyaris satu jam lamanya, jauh meninggalkan daerah pinggiran tempat gubuk Kemal berdiri.

Tadinya, saat menjalani hari-hari bersama Kemal, Arya mengira kalau hidupnya sudah berada di jalur yang aman. Bahkan dalam pikirannya saat itu, dia akan terus mengamen bersama Kemal, membeli gitar baru, menabung, dan merubah kehidupan mereka secara berangsur-angsur menjadi lebih baik. Kini saat menghadapi kenyataan ternyata tidak semudah mengukir harapan dan mereka-reka hari depan, Arya merasakan sensasi dibanting jatuh dari tempat yang tinggi. Remuk-redam rasanya, bukan di fisiknya, tapi di psikisnya.

Kembali terlunta-lunta tanpa minat untuk pulang ke rumah──apalagi setelah yakin kalau papa dan mamanya sama sekali tidak peduli dia mau pulang atau enggak, Arya merasa kualitas hidupnya menurun. Polanya, mundur─maju─mundur─mundur lagi─maju─mundur─mundur lagi, dan entah kapan akan berubah maju lagi. Satu langkah maju dan dua langkah mundur, begitulah hidup Arya selama di luaran.

Hari dia meninggalkan rumah, itu adalah langkah mundurnya yang pertama. Bertemu Dewa dan diizinkan memakai sofa Rauf, itu langkah maju. Pergi dari apartemen Rauf dan menolak ditolong Dewa yang suka nyakitin perasaan orang yang mencintainya, itu satu langkah mundur. Kemalingan di alun-alun dan masa yang terbuang sia-sia selama menunggu bisa bertemu Ibra yang tidak pernah berhasil hingga sekarang, adalah langkah mundur selanjutnya. Bertemu Kemal dan mendapatkan tempat tinggal sekaligus pekerjaan, itu langkah maju. Pergi dari Kemal, langkah mundur. Kembali ke jalanan tanpa tempat tinggal tanpa sepeser pun mata uang dan belum makan malam, langkah mundur.

Satu langkah maju dan dua langkah mundur.

Arya berhenti di satu titik ketika kakinya mulai terasa pegal dan perutnya mulai melilit. Dia tidak tahu berada di mana. Sepertinya, dia juga merasakan kalau pandangannya berkunang-kunang. Arya memerhatikan sekitar, gemerlapan penuh lampu, jalanan dipadati mobil-mobil dan restoran mewah bertebaran di sepanjang jalan. Sepertinya dia sudah berada di pusat kota. Arya memindai untuk mencari tahu di mana posisinya berdiri, hal pertama yang langsung disadarinya adalah, dia sedang berdiri di depan sebuah tempat makan. Perutnya kembali melilit. Tanpa sadar, tangannya merogoh saku celana. Tak ada uang tentu saja, hasil mengamen mereka selalu dijaga Kemal dan memang seharusnya begitu. Tapi Arya menemukan kunci apartemen Rauf yang selalu dibawa-bawanya itu di dalam saku, meski dia berganti celana sekalipun kunci itu tetap dipindahkannya ke saku celana yang sedang dipakainya.

Tapi, makanan tidak bisa dibarter dengan kunci apartemen, kan?

Arya berusaha melupakan ingatannya tentang makanan dan fokus memikirkan tempat untuk melewati malam ini. Dia perlu istirahat, tidur mungkin akan menghilangkan rasa laparnya. Ya, dia perlu tidur, biar esok pagi saja dia memikirkan bagaimana caranya agar tidak mati kelaparan.

Misi penting saat ini: mencari pojokan aman untuk bermalam.

***

Rauf nyaris menabrak mobil di depannya karena meleng terlalu lama dari memperhatikan jalanan. Ide pergi ke suatu tempat untuk membuktikan kelelakiannya menguap entah ke mana dengan serta merta detik itu juga. Rauf membanting setir dengan spontan, menyisi ke bahu jalan lalu menekan rem hingga mobilnya berhenti mendadak. Jerit klakson bersahut-sahutan dari mobil-mobil di belakang mobilnya sebagai akibat kepanikan yang ditimbulkannya saat membanting setir dan mengerem mendadak. Tapi Rauf tak punya waktu untuk peduli pada hal itu. Ada hal lain yang lebih urgent yang membutuhkan semua konsentrasi dan kepeduliannya saat ini.

Begitu mobilnya berhenti di bahu jalan yang jelas-jelas ada tanda dilarang parkir itu, Rauf mendorong pintu mobil dengan tidak sabar lalu melompat keluar. Setelah membanting pintu mobil dengan sama tidak sabarnya, Rauf berjalan cepat──bahkan nyaris berlari──ke arah berlawanan dengan arah laju mobilnya.

“ARYA…!!!”

Sosok jangkung yang sedang berjalan gontai belasan meter dari posisi Rauf memberhentikan mobilnya itu berhenti bergerak. Rauf melambatkan langkah, dadanya berdentuman ketika sosok jangkung yang diyakini sebagai Arya itu memutar badan.

Rauf merasa seperti baru saja menang lotre. Di sana itu memang Arya, sudah berganti pakaian, bukan lagi kaos biru garis-garis seperti yang diingatnya waktu anak itu meninggalkan apartemennya tempo hari. Meski keadaannya berantakan dan dekil, tapi Rauf bisa menyimpulkan kalau Arya terlihat sehat, dan itu sudah sangat melegakan. Oh, well, menemukan Arya saja sudah sangat melegakan, apalagi bila yang ditemukan itu terlihat sehat. Arya memang tampak sedikit kurusan dari yang diingat Rauf, tapi anak itu baik-baik saja.

Rauf berhenti satu langkah di depan Arya, mendadak merasa tak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana, sementara Arya hanya berdiri saja, diam memerhatikannya. Apa anak itu tidak mengingatnya? Rauf merasa konyol dengan dentuman di dadanya yang masih saja kencang. Tapi menemukan Arya pada saat tak terduga seperti sekarang memang mendebarkan, Rauf hanya terlalu senang dan terlalu euphoria. Itu saja, kan? Bukan karena dia terlalu kengen pada anak itu, kan?

“H… hai…” Rauf merasakan napasnya memburu, padahal dia hanya berjalan cepat belasan meter saja dari tempat mobilnya diparkir.

Arya masih belum merespon apapun, hanya matanya saja yang terus menatap Rauf. Pria di depannya ini terlihat kacau dari yang pernah diingatnya. Rauf pasti lupa bercukur, dan rambutnya acak-acakan menunjuk ke segala arah. Arya berdeham, “Apa yang terjadi dengan rambut loe?” Sudah sering bicara dengan kata ganti yang lebih sopan dengan Kemal selama ini membuat Arya seperti baru saja salah ucap. Arya menggigit-gigit bibirnya.

Rauf reflek mengusap kepalanya dengan telapak tangan kiri. “Oh…” Dia berusaha terlihat santai, tapi seringai miring di bibirnya terasa kaku dan dehaman yang dilakukannya kemudian dengan maksud untuk membersihkan tenggorokannya malah terdengar bagai batuk pengidap tuberkulosa kronis. Di depannya, Arya mengernyitkan kening. Rauf berusaha untuk tidak terlihat kikuk, ini hanya Arya, bukan ratu kecantikan sejagat raya. “Bad day,” ucapnya kemudian sambil mengusap kepalanya sekali lagi. “Apa yang loe lakuin di sini?” tanya Rauf kemudian.

Arya melengos, “Bukan urusan loe,” jawabnya datar.

Rauf sama sekali tidak kaget memperoleh respon demikian dari Arya, bahkan sebenarnya dia sudah mempersiapkan diri untuk sikap bermusuhan Arya yang demikian. “Memang bukan,” balas Rauf. “Tapi Dewa berusaha menemukan loe selama berhari-hari ini…” Gue juga berusaha buat nemuin loe, lanjut Rauf dalam hati.

Ekspresi yang diperlihatkan Arya sulit ditebak Rauf. “Gue gak punya urusan sama orang itu…”

Rauf kehabisan akal untuk memperoleh antusiasme Arya terhadap pertemuan mereka. Arya sepertinya tidak menganggap pertemuan ini sebagai sesuatu yang diharapkannya, malah sebaliknya, sikapnya seakan menegaskan kalau dirinya tidak suka mereka bertemu. Tapi itu bukan salahnya. Rauf bisa memahami mengapa Arya bersikap demikian.

Perut Arya tiba-tiba mengeluarkan bunyi, mukanya memerah dengan serta merta. Rauf pasti bisa mendengar bunyi keroncongan itu, dan pasti juga bisa melihat kalau wajahnya memerah, lampu-lampu di sekitar mereka berpijar cukup terang. Arya merutuk dalam hati.

Rauf mengalihkan perhatiannya ke jalan, berusaha berpura-pura kalau dirinya tidak mendengar bunyi kelaparan perut Arya dan tidak menyadari rona merah di wajah anak itu. “Loe mau pergi ke mana? Ayo gue anterin,” kata Rauf sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Sebenarnya, yang ingin dilakukannya adalah membawa pulang Arya ke tempatnya. Meski sudah berganti pakaian, Rauf sangat tahu kalau Arya masih belum pulang ke rumah. Keadaan Arya yang dekil dan acak-acakan memberitahu kalau dia masih belum menyerah untuk pulang ke kenyamanan rumahnya.

“Gue mau pergi ke mana sama sekali gak ada sangkut pautnya dengan loe.”

Rauf hilang sabar. “Fine, silakan pergi. Maaf sudah memperlambat perjalanan loe menuju ke manapun tujuan loe yang gak ada sangkut pautnya sama sekali dengan gue itu.” Rauf balik badan dan melangkah ke arah mobilnya diparkir.

Arya berdiri termangu. Goblok. Saat ini dia kelaparan, dan butuh tempat untuk tidur. Kedua hal itu seharusnya bisa ditangani dengan sangat mudah oleh Rauf saat ini juga, tapi dia malah bersikap antipati pada pria itu. Tapi, bukankah seharusnya Rauf berusaha lebih keras lagi terhadapnya?

Sialan, Arya… memangnya siapa loe pikir diri loe hingga Rauf perlu memperjuangkan loe sebegitunya? Sekarang, makan buah dari sikap loe sendiri. Menu makan dan tempat berbaring empuk loe malam ini baru saja pergi, PERGI. Congratulation!’

Arya memandang punggung lebar Rauf yang bergerak menjauh sampai sosok pria itu hilang ke dalam mobil di bahu jalan. Arya berbalik, dan mulai berjalan gontai kembali dalam keadaan makin lapar, dan perasaan bersalah yang aneh.

Entah dirinya sudah berjalan berapa langkah ketika gerimis itu luruh tanpa pemberitahuan. Arya mendongak langit yang gelap, kilatan petir sesekali menerangi awan-awan gelap yang pasti siap jatuh dalam bentuk hujan beberapa saat lagi. Sempurna sudah. Malam ini dia akan lebih kedinginan dan lebih kelaparan dari yang pernah dirasakannya selama meninggalkan rumah.

Gerimis kian lebat. Arya sekilas melihat tempat berteduh, kanopi cantik yang menaungi pintu masuk sebuah restoran. Dia sudah siap berlari ke sana ketika sekonyong-konyong pergelangan tangannya ditangkap seseorang dari arah belakang.

“Loe kira gue sebodoh itu mau ninggalin loe di luar sini, hah?!?”

Arya tersentak kaget, sosok Rauf sudah menjulang di dekatnya lagi, mencengkeram pergelangannya erat-erat sampai dia merasa kesakitan. Mereka sama-sama diguyur gerimis.

“Loe kira gue mau ngabisin waktu berhari-hari lagi, mutar-mutar kayak orang gila buat nyariin loe?”

Arya terperangah. Apa dia tidak salah dengar? Rauf mencarinya? Ya Tuhan, jangan sampai itu benar. Tapi… sorot tajam pada mata Rauf memberitahu Arya kalau hal itu memang benar. Arya kehilangan kata-kata, bahkan dia juga kehilangan sikap antipatinya terhadap pria itu.

Merasa sudah berhasil mengintimidasi Arya, Rauf menyeret cowok itu menuju mobil sementara gerimis terus mengguyur mereka berdua. Entah karena efek magis dari ucapannya, entah karena gerimis, entah karena tak punya tenaga lagi karena perutnya keroncongan, Arya sama sekali tidak melakukan perlawanan ketika diseret.

“Masuk!” Rauf mendorong punggung Arya hingga anak itu terperosok ke jok lalu membanting pintu dengan kasar. Selanjutnya dia bergerak gesit memutari bagian depan mobil untuk menuju jok pengemudi.

Saat mereka berdua sudah berada di mobil, gerimis berubah jadi hujan. Mula-mula perlahan saja, lalu berubah deras dalam hitungan detik.

Arya memberanikan diri melirik Rauf yang sedang mengibas-ngibaskan kemejanya sambil menyalakan mobil, dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya beberapa saat tadi. “Apa loe sungguhan nyariin gue?”

Rauf tidak menjawab.

“Karena gue punya hutang sama loe, kan?”

Mobil mulai bergerak. “Sudah berapa hari loe gak mandi?” Rauf balas bertanya sambil sekilas menoleh pada Arya sebelum kembali fokus ke jalan.

Arya reflek mengendus-endus dirinya. Ya, dia memang agak sedikit bau. Dan bau itu pasti sampai ke lubang hidung Rauf.

Beberapa menit mengemudi, Rauf mendadak membelokkan mobilnya ketika menemukan logo makanan cepat saji di sebelah kiri mereka. “Jangan berani-berani keluar dari mobil!” ancamnya pada Arya setelah memberhentikan mobil di parkiran restoran cepat saji bernama MD itu.

Arya memerhatikan Rauf membuka pintu mobil dan melompat turun sebelum kemudian berlari kencang menerobos hujan menuju pintu masuk resto MD. Arya bisa melihat Rauf mengantri di dalam sana melalui dinding kaca yang bening sempurna. Dan masih terus melihat ketika Rauf mengeluarkan dompetnya. Juga masih terus memperhatikan saat pria itu berlari kencang menerobos hujan kembali menuju ke mobil dengan kantong berlogo resto MD di tangan.

Rauf memberikan kantong di tangannya dengan cara setengah dilemparkan buat Arya, tepat jatuh di pangkuan cowok itu. “Habiskan!” bentaknya sebelum menstarter mobil.

Arya merasa tak perlu sungkan lagi. Lagipula, perlakuan Rauf yang terus mengasarinya benar-benar membuatnya jengkel. Dengan tenaga berlebihan, sengaja dirobeknya kemasan makanan cepat saji itu dan sejenak kemudian dia sudah dengan beringas menggigiti burger jumbo yang dibeli Rauf untuknya. Tanpa malu-malu dan tanpa jaim sama sekali. Bahkan. Dia sengaja mengeluarkan suara berisik dari mulutnya sepanjang kegiatannya mengunyah.

*

Mereka saling mendiamkan diri selama berada di dalam lift, saling berdiri menjauh dan sama-sama mendekap dada. Rauf terlihat lebih basah dari Arya, kemejanya sudah melekat ketat ke badannya. Ketika pintu lift membuka, sambil berjalan di koridor dengan diekori Arya di balik punggungnya, Rauf mulai membuka kancing-kancing kemejanya dan selesai ketika tiba di depan pintu.

“Loe mandi duluan. Pakai kamar mandi yang di kamar gue,” perintah Rauf sambil melepaskan kemeja basah dari badannya.

Arya berusaha tidak menggubris pemandangan Rauf yang sedang membebaskan otot-ototnya dari kemeja basah, tapi itu sulit karena Rauf tepat sedang berjalan di depannya untuk sama-sama menuju kamar.

“Ambil handuknya di lemari,” perintah Rauf selanjutnya sambil mulai membuka ikat pinggangnya.

“Gue tahu kalau loe punya badan bagus. Tapi bisa tolong berhenti show off di depan gue?”

Rauf sontak berhenti dari segala pergerakannya. Arya sedang menatapnya. “Kenapa?” tanyanya bego.

Arya melengos. “Itu mengganggu,” jawabnya singkat lalu membuka lemari dan mengambil handuk seperti yang diperintahkan Rauf.

Sepeninggal Arya ke kamar mandi, Rauf termangu sendirian. Kalau Dewa, mungkin tak akan menginterupsi kegiatannya melepas pakaian, bahkan bisa dipastikan kalau pria itu akan menontonnya sampai selesai. Tapi Arya tidak begitu. Alih-alih menonton, anak itu malah mengaku merasa terganggu. Atau… dia bukan tipenya Arya? Darimana pikiran itu datang? Rauf bahkan belum yakin seratus persen kalau Arya itu seperti Dewa. Dia hanya tahu kalau Arya ditaksir Dewa. Ditaksir oleh maho bukan berarti dia maho juga, kan? Dewa naksir padanya, tapi Rauf yakin kalau dirinya tidak seperti Dewa. Hal yang sama juga berlaku untuk Arya.

Rauf mengancingi lagi jinsnya yang lembab lalu mulai menggali-gali di dalam lemarinya, berusaha menemukan pakaian untuk Arya. Setelah mandi mungkin anak itu akan langsung tidur, pikir Rauf. Ditariknya secarik boxer dari dalam lemari dan diletakkannya di atas ranjang. Arya juga pasti butuh celana dalam. Rauf tidak tahu apakah Arya bisa pas dengan ukurannya, tapi tetap saja diletakkannya satu boks celana dalam baru berdampingan dengan boxer yang sudah lebih dulu ditaruhnya di atas ranjang.

Setelah semua itu, Rauf berdiri bersidekap lengan di dada di tengah-tengah kamar, tidak bisa mencegah dirinya untuk merasa senang dan lega. Arya sudah aman di tempatnya. Rasa bersalahnya pada anak itu sudah hampir tertebus semuanya.

Ini aneh dan tidak masuk logika… tapi Rauf benar-benar tidak ingin Arya meninggalkannya lagi.

***

= TO BE CONTINUED =

 

Note :

Tired.

 

 

November Mendung 2016

Dariku yang sederhana

-n.a.g-

nay.algibran@gmail.com